Jumat, 17 Agustus 2012

MASALAH MENYENTUH BUMI KETIKA SUJUD

Dalam praktek shalat, sebagian kaum muslimin ada yang meletakkan tangan dahulu sebelum lutut pada saat akan sujud dan ada yang sebaliknya lutut dahulu kemudian tangan. Lalu mana yang benar dalam masalah ini !.Sebelum menguraikan perbedaan pendapat para ulama dan dalil setiap pendapat dalam masalah ini, terlebih dahulu kami akan detailkan letak perbedaan pendapat para ulama tersebut guna memahami masalah ini dengan baik dan benar.Mendetailkan letak perbedaan pendapat termasuk perkara yang penting. Dan menelantarkan hal tersebut akan menimbulkan beberapa dampak yang negatif, diantaranya :
  • Penggambaran masalah tidak di atas hakikat sebenarnya.
  • Timbulnya ketimpangan dalam penerapan masalah.
  • Lahirnya masalah-masalah lain yang membuat permasalahan tersebut semakin rumit dan bertele-tele.
  • Bisa mengantar ke jalur berlebihan dalam masalah agama, padahal sikap berlebihan tersebut merupakan perkara yang tercela dalam syari’at Islam yang penuh dengan kemudahan ini.
Pendapat pertama ini adalah pendapat Imam Al-Auza’iy dan salah satu riwayat dari Imam Malik dan Imam Ahmad. Bahkan Ibnu Hazm berlebihan dalam menguatkan pendapat ini sehingga beliau menganggap bahwa meletakkan tangan sebelum lutut adalah perkara yang wajib.
Dalil-dalil Pendapat Pertama
Ada dua  Hadits yang dijadikan dalil oleh orang yang menganut pendapat pertama ini :
Hadits Pertama: Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :“Apabila salah seorang dari kalian (hendak) sujud maka janganlah ia turun bersimpuh sebagaimana turun bersimpuhnya onta tapi hendaknya ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya“. Dikeluarkan oleh Ahmad 2/381, Al-Bukhary dalam At-Tarikh Al-Kabir 1/1/139, Abu Daud no 840, An-Nasa`i 2/207 dan dalam Al-Kubra no. 678, Ath-Thahawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/254, Ad-Daruquthny 1/344-345, Al-Baihaqy 2/99-100, Al-Hazimy dalam Al-I’tibar Fii An-Nasikh Wal Mansukh minal Atsar hal. 59-60, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no.520-522, Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 4/128-129 dan Al-Baghawy dalam Syarah As-Sunnah 3/134-135 semuanya dari jalan Abdul ‘Aziz bin Muhammad Ad-Darawardy dari Muhammad bin Hasan dari Abu Zinad dari Al-A’raj dari Abu Hurairah.
Pendapat kedua ini adalah pendapat Muslim bin Yasar, An-Nakh’iy, Sufyan Ats-Tsaury, Abu Hanifah dan dua muridnya Muhammad dan Abu Yusuf, Asy-Syafi’iy, Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan Ibnul Mundzir. Pendapat ini juga dihikayatkan dari ‘Umar bin Khaththab dan anaknya ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhuma. At-Tirmidzy dan Al-Khaththaby mengatakan bahwa ini adalah pendapat kebanyakan para ‘ulama.
Dalil-dalil pendapat kedua
Hadits Pertama : Hadits Wa`il bin Hujr, Hadits Wa`il ini mempunyai dua jalan:
Jalan Pertama : “Saya melihat Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam apabila beliau sujud, beliau meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya dan apabila beliau bangkit beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya“.
Dikeluarkan oleh Abu Daud no.388, An-Nasa`i 2/207,234 dan dalam Al-Kubra no.676,740, Ibnu Majah no.838, Ad-Darimy 1/303, Ibnu Khuzaimah no. 626,629, Ibnu hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 1912, Ath-Thohawy 1/255, Ad-Daraquthny 1/345, Al-Baihaqy 2/98, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 518, Al-Baghawy 3/133, Al-Hazimy hal. 60-61, Al-Khatib Al-Baghdady dalam Mudhih Auwan Al-Jama’ Wat Tafriq 2/501 dan Adz-Dzahaby dalam Mu’jamul Muhadditsin hal.218-219 semuanya dari jalan Syarik bin Abdillah An-Nakha’iy dari Ashim bin Kulaib dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr.
Pendapat ini merupakan salah satu riwayat dari Imam Malik dan Ahmad. Para ‘ulama yang menguatkan pendapat ketiga ini, ada dua jalan dalam menguatkannya :
  1. Ada yang menguatkan pendapat ini dengan alasan bahwa dalil dari pendapat pertama dan kedua semuanya shohih bisa dipakai berhujjah. Dengan demikian maka kandungan dari dalil-dalil tersebut bisa diamalkan sehingga boleh meletakkan tangan dahulu kemudian lutut atau lutut dahulu kemudian tangan.
  2. Ada yang menguatkan pendapat ketiga ini dengan alasan bahwa seluruh hadits yang berkaitan dengan cara turun untuk sujud, baik tangan dahulu kemudian lutut atau lutut dahulu kemudian tangan, adalah hadits-hadits yang lemah tidak bisa dipakai berhujjah. Karena tidak ada aturan dalam hadits yang shohih yang menjelaskan tentang cara turun untuk sujud tersebut maka ada keluasan, boleh meletakkan tangan dahulu kemudian lutut atau lutut dahulu kemudian tangan.
Sepanjang pemeriksaan kami, ada dua hadits yang menyebutkan tentang hal ini :
1. Hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma :                                                                          “Sesungguhnya Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam jika beliau (hendak) berdiri dalam sholatnya, beliau meletakkan kedua tangannya di atas bumi sebagaimana yang dilakukan oleh al-‘ajin (orang yangmelakukan‘ajn)”.                                                                                                                                                                                                                                                                         Hadits ini disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Talkhish Al-Habir (1/466) dan An-Nawawy dalam Al-Majmu’ (3/421).
Berkata Ibnu Ash-Sholah dalam komentar beliau terhadap Al-Wasith –sebagaimana dalam At-Talkhis- : “Hadits ini tidak shohih dan tidak dikenal serta tidak boleh berhujjah dengannya”.
Berkata An-Nawawy : “(Ini) hadits lemah atau batil, tidak ada asalnya”.

Khutbah "GAYA HIDUP ISLAMI & JAHILI


GAYA HIDUP ISLAMI DAN GAYA HIDUP JAHILI
Dipublikasikan , Oleh: MOH. YANI, ES A GE, EM EM, EM PE DE I
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ، اَلنَّبِيِّ اْلأُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ؛
فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ، وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ،: {
Hadirin jamaah Jum’at yang berbahagia rahimakumullah
      Ada dua hal yang umumnya dicari oleh manusia dalam hidup ini. Yang pertama ialah kebaikan (al-khair), dan yang kedua ialah kebahagiaan (as-sa’adah). Hanya saja masing-masing orang mempunyai pandangan yang berbeda ketika memahami hakikat keduanya. Perbedaan inilah yang mendasari munculnya bermacam ragam gaya hidup manusia.
        Dalam pandangan Islam gaya hidup tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu: 1) gaya hidup Islami, dan 2) gaya hidup jahili.
        Gaya hidup Islami mempunyai landasan yang mutlak dan kuat, yaitu Tauhid. Inilah gaya hidup orang yang beriman. Adapun gaya hidup jahili, landasannya bersifat relatif dan rapuh, yaitu syirik. Inilah gaya hidup orang kafir.
        Setiap Muslim sudah menjadi keharusan baginya untuk memilih gaya hidup Islami dalam menjalani hidup dan kehidupan-nya. Hal ini sejalan dengan firman Allah berikut ini:
Artinya: Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. (QS. Yusuf: 108).
            Berdasarkan ayat tersebut jelaslah bahwa bergaya hidup Islami hukumnya wajib atas setiap Muslim, dan gaya hidup jahili adalah haram baginya. Hanya saja dalam kenyataan justru membuat kita sangat prihatin dan sangat menyesal, sebab justru gaya hidup jahili (yang diharamkan) itulah yang melingkupi sebagian besar umat Islam. Fenomena ini persis seperti yang pernah disinyalir oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam . Beliau bersabda:
لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِيْ بِأَخْذِ الْقُرُوْنِ قَبْلَهَا شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ. فَقِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَفَارِسَ وَالرُّوْمِ. فَقَالَ: وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَـئِكَ. (رواه البخاري عن أبي هريرة، صحيح).
        Artinya: “Tidak akan terjadi kiamat sebelum umatku mengikuti jejak umat beberapa abad sebelumnya, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta”. Ada orang yang bertanya, “Ya Rasulullah, mengikuti orang Persia dan Romawi?” Jawab Beliau, “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah z, shahih).
لَتَتَّبِعَنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوْا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوْهُمْ. قُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اَلْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى. قَالَ: فَمَنْ. (رواه البخاري عن أبي سعيد الخدري، صحيح).
        Artinya: “Sesungguhnya kamu akan mengikuti jejak orang-orang yang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, bahkan kalau mereka masuk ke lubang biawak, niscaya kamu mengikuti mereka”. Kami bertanya,”Ya Rasulullah, orang Yahudi dan Nasrani?” Jawab Nabi, “Siapa lagi?” (HR. Al-Bukhari dari Abu Sa’id Al-Khudri z, shahih).
Hadirin jamaah Jum’at rahimakumullah.
            Hadits tersebut menggambarkan suatu zaman di mana sebagian besar umat Islam telah kehilangan kepribadian Islamnya karena jiwa mere-ka telah terisi oleh jenis kepribadian yang lain. Mereka kehilangan gaya hidup yang hakiki karena telah mengadopsi gaya hidup jenis lain. Kiranya tak ada kehilangan yang patut ditangisi selain dari kehilangan kepribadian dan gaya hidup Islami. Sebab apalah artinya mengaku sebagai orang Islam kalau gaya hidup tak lagi Islami malah persis seperti orang kafir? Inilah bencana kepribadian yang paling besar.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ. (رواه أبو داود وأحمد عن ابن عباس).
        Artinya: “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka” (HR. Abu Dawud dan Ahmad, dari Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu hasan).
            Menurut hadits tersebut orang yang gaya hidupnya menyerupai umat yang lain (tasyabbuh) hakikatnya telah menjadi seperti mereka. Lalu dalam hal apakah tasyabbuh itu?
        Al-Munawi berkata: “Menyerupai suatu kaum artinya secara lahir berpakaian seperti pakaian mereka, berlaku/ berbuat mengikuti gaya mereka dalam pakaian dan adat istiadat mereka”.
        Tentu saja lingkup pembicaraan tentang tasyabbuh itu masih cukup luas, namun dalam kesempatan yang singkat ini, tetap mewajibkan diri kita agar memprihatinkan kondisi umat kita saat ini.
Hadirin jamaah Jum’at rahimakumullah
            Satu di antara berbagai bentuk tasyabbuh yang sudah membudaya dan mengakar di masyarakat kita adalah pakaian Muslimah. Mungkin kita boleh bersenang hati bila melihat berbagai mode busana Muslimah telah mulai bersaing dengan mode-mode busana jahiliyah. Hanya saja masih sering kita menjumpai busana Muslimah yang tidak memenuhi standar seperti yang dikehendaki syari’at. Busana-busana itu masih mengadopsi mode ekspose aurat sebagai ciri pakaian jahiliyah. Adapun yang lebih memprihatinkan lagi adalah busana wanita kita pada umumnya, yang mayoritas beragama Islam ini, nyaris tak kita jumpai mode pakaian umum tersebut yang tidak mengekspose aurat. Kalau tidak memper-tontonkan aurat karena terbuka, maka ekspose itu dengan menonjolkan keketatan pakaian. Bahkan malah ada yang lengkap dengan dua bentuk itu; mempertontonkan dan menonjolkan aurat. Belum lagi kejahilan ini secara otomatis dilengkapi dengan tingkah laku yang -kata mereka- selaras dengan mode pakaian itu. Na’udzubillahi min dzalik.
        Hadirin, marilah kita takut pada ancaman akhirat dalam masalah ini. Tentu kita tidak ingin ada dari keluarga kita yang disiksa di Neraka. Ingatlah, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam pernah bersabda:
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا؛ قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيْلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُؤُوْسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيْحَهَا، وَإِنَّ رِيْحَهَا لَتُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَا وَكَذَا. (رواه مسلم عن أبي هريرة، صحيح).
        Artinya: “Dua golongan ahli Neraka yang aku belum melihat mereka (di masaku ini) yaitu suatu kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi, mereka memukuli manusia dengan cambuk itu. (Yang kedua ialah) kaum wanita yang berpakaian (tapi kenyataan-nya) telanjang (karena mengekspose aurat), jalannya berlenggak-lenggok (berpenampilan menggoda), kepala mereka seolah-olah punuk unta yang bergoyang. Mereka itu tak akan masuk Surga bahkan tak mendapatkan baunya, padahal baunya Surga itu tercium dari jarak sedemikian jauh”. (HR. Muslim, dari Abu Hurairah z, shahih).
            Jika tasyabbuh dari aspek busana wanita saja sudah sangat memporak-porandakan kepribadian umat, maka tidak ada alasan bagi kita untuk tinggal diam. Sebab di luar sana sudah nyaris seluruh aspek kehidupan umat bertasyabbuh kepada orang-orang kafir yang jelas-jelas bergaya hidup jahili.
Nah, hadirin rahimakumullah
            Sebagai penutup khutbah ini saya mengajak kepada kita semua untuk memperhatikan, merenungi dan mentaati sebuah firman Allah yang artinya:
        Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. At-Tahrim: 6).

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ.

Jumat, 10 Agustus 2012

CARA PEMBAYARAN ZAKAT


CARA PEMBAYARAN ZAKAT
Kewajiban muzakki dalam membayar zakat adalah :
  1. Berniat untuk membayar zakat
  2. Menghitung semua kekayaan yang wajib dizakati
  3. Membayarkan zakat kepada Badan Amil Zakat
  4. Meminta doa dari petugas penerima zakat di Badan Amil Zakat
Yang Tidak Berhak Menerima Zakat
Zakat tidak boleh disalurkan kepada orang yang terbukti mempunyai hubungan nasab (darah) dengan Nabi saw. karena mereka memiliki sumber pemasukan lain dalam syariat Islam, yaitu dari seperlima harta rampasan perang.
Zakat tidak boleh dibayar kepada orang yang wajib dinafkahi oleh si pembayar zakat. Zakat tidak boleh dibayar kepada selain orang muslim kecuali yang dikhususkan untuk jatah golongan orang-orang mualaf.
Mentransfer Zakat Keluar Daerah Pemungutan
Walaupun zakat merupakan salah satu dasar terciptanya solidaritas sosial di seluruh wilayah negara Islam dan juga sebagai sumber dana untuk dakwah dan usaha mempekenalkan hakikat ajaran Islam selain untuk membantu para tentara yang berjuang merebut kemerdekaan negeri Islam namun telah menjadi ketentuan pokok berdasarkan hadis dan sunah para khulafaurrasyidin untuk memulai menyalurkan harta zakat itu kepada orang-orang mustahik yang ada di dalam wilayah pemungutannya. Kemudian sisanya baru dialihkan ke wilayah lain kecuali bila terjadi musibah kelaparan, bencana alam atau kebutuhan yang sangat mendesak, maka ketika itu zakat boleh dialihkan kepada yang lebih membutuhkan. Prinsip ini dapat diterapkan pada tingkat perorangan maupun kelompok masyarakat.
Pengalihan zakat dari suatu wilayah ke wilayah lain itu berdasarkan ketentuan-ketentuan berikut ini:
Pada dasarnya zakat disalurkan di tempat harta yang dizakati, bukan di tempat si pembayar zakat sehingga harta itu boleh dialihkan dari tempatnya untuk kemaslahatan yang lebih besar.
Di antara maslahat pengalihan zakat itu adalah:
  • Dialihkan ke wilayah-wilayah tempat terjadinya perang fisabilillah.
  • Dialihkan ke lembaga-lembaga dakwah dan pendidikan maupun pusat kesehatan yang termasuk delapan golongan yang berhak menerima zakat.
  • Dialihkan ke negara-negara Islam manapun yang mengalami musibah kelaparan dan bencana alam.
  • Dialihkan ke kaum kerabat si pembayar zakat yang berhak menerima zakat (mustahik).

    Mengalihkan zakat keluar wilayah pemungutan selain dalam kondisi yang disebutkan di atas tidak menghalangi sahnya pembayaran zakat tetapi makruh dengan syarat harta itu tetap disalurkan kepada orang-orang di antara delapan kelompok masyarakat yang mustahik.
    Yang dimaksud dengan daerah pemungutan zakat ialah daerah tempat zakat itu dipungut dan negeri-negeri lain yang ada di sekitarnya yang jauhnya kurang dari jarak salat kasar (kurang lebih 82 kilometer) karena hal itu dianggap termasuk wilayah satu negeri.
Tindakan-tindakan yang boleh dilakukan dalam pengalihan harta zakat:
  • Mempercepat pembayaran zakat sebelum akhir haul, selama masa waktu yang dibutuhkan untuk pendistribusian zakat tersebut kepada mustahik, terhitung mulai dari haul itu sempurna jika harta itu telah memenuhi syarat wajib.
  • Menunda pembayaran selama masa waktu yang dibutuhkan untuk mengalihkan zakat tersebut.
Zakat Dan Pajak
Pembayaran pajak yang diwajibkan oleh pemerintah tidak bisa dijadikan sebagai pembayaran zakat karena perbedaan yang terdapat antara keduanya. Seperti perbedaan pihak yang mewajibkan, tujuan, jenis harta, volume yang wajib dibayar serta penyalurannya.
Pajak tidak boleh dipotong dari volume zakat yang wajib dibayar tetapi dari total jumlah harta yang terkena kewajiban zakat. Pajak yang harus dibayar kepada pemerintah selama haul dan belum dibayar sebelum haul, dipotong dari harta yang harus dizakati tersebut karena termasuk kewajiban yang harus dilunasi.

Peraturan pajak seharusnya disesuaikan sehingga memungkinkan pengambilan volume zakat yang wajib dikeluarkan dari volume pajak untuk memudahkan mereka yang membayar zakat tanpa batas selama yang bersangkutan dapat mengajukan bukti yang kuat bahwa ia telah membayar zakat.Mewajibkan pajak solidaritas sosial atas penduduk non muslim di negara Islam sebesar volume zakat sebagai sumber dana untuk menciptakan solidaritas sosial secara umum yang mencakup seluruh rakyat yang hidup di negara Islam.(Sumber: Baznas)

IEDUL FITRI DALAM KALENDER MASEHI


Idul Fitri dalam kalender Masehi

Dalam kalender Islam, penetapan hari Idul Fitri selalu sama setiap tahunnya, hal ini berbeda dalam kalender Masehi yang selalu berubah dari tahun ke tahun. Dalam kalender Islam penetapan hari ialah berdasarkan fase bulan (kalender lunar), sedangkan kalender Masehi berdasar fase bumi mengelilingi matahari (kalender solar). Perbedaan inilah yang menyebabkan penetapan Idul Fitri selalu berubah di dalam kalender Masehi, yakni terjadi perubahan 11 hari lebih awal setiap tahunnya. Perkiraan hari Idul Fitri dalam kalender Masehi ialah sebagai berikut:


HALAL BIHALAL DALAM PANDANGAN ISLAM



Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh.... 
Bismillahirrahmaanirrahiim.... 
Halal bihalal, dua kata berangkai yang sering diucapkan dalam suasana Idul Fitri, adalah satu dari istilah-istilah “keagamaan” yang hanya dikenal oleh masyarakat Indonesia.
Istilah tersebut seringkali menimbulkan tanda tanya tentang maknanya, bahkan kebenaranya dalam segi bahasa, walaupun semua pihak menyadari tujuannya adalah menciptakan keharmonisan antara sesama.
Hemat saya paling tidak ada dua makna yang dapat dikemukakan menyangkut pengertian istilah tersebut, yang ditinjau dari dua pandangan. Yaitu, pertama, bertitik tolak dari pandangan hukum Islam dan kedua berpijak pada arti kebahasaan.
Menurut pandangan pertama – dari segi hukum – kata halal biasanya dihadapkan dengan kata haram. Haram adalah sesuatu yang terlarang sehingga pelanggarannya berakibat dosa dan mengundang siksa, demikian kata para pakar hukum. Sementara halal adalah sesuatu yang diperbolehkan dan tidak mengundang dosa. Jika demikian halal bihalal adalah menjadikan sikap kita terhadap pihak lain yang tadinya haram dan berakibat dosa, menjadi halal dengan jalan mohon maaf.
Pengertian seperti yang dikemukakan di atas pada hakikatnya belum menunjang tujuan keharmonisan hubungan, karena dalam bagian halal terdapat sesuatu yang makruh atau yang tidak disenangi dan sebaiknya tidak dikerjakan. Pemutusan hubungan (suami-istri, misalnya) merupakan sesuatu yang halal tapi paling dibenci Tuhan. Atas dasar itu, ada baiknya makna halal bihalal tidak dikaitkan dengan pengertian hukum.
Menurut pandangan kedua – dari segi bahasa – akar kata halal yang kemudian membentuk berbagai bentukan kata, mempunyai arti yang beraneka ragam, sesuai dengan bentuk dan rangkaian kata berikutnya. Makna-makna yang diciptakan oleh bentukan-bentukan tersebut, antara lain, berarti “menyelesaikan problem”, “meluruskan benang kusut”, “melepaskan ikatan”, dan “mencairkan yang beku”.
Jika demikian, ber-halal bihalal merupakan suatu bentuk aktifitas yang mengantarkan para pelakunya untuk meluruskan benang kusut, menghangatkan hubungan yang tadinya membeku sehingga cair kembali, melepaskan ikatan yang membelenggu, serta menyelesaikan kesulitan dan problem yang menghalang terjalinnya keharmonisan hubungan. Boleh jadi hubungan yang dingin, keruh, dan kusut tidak ditimbulkan oleh sifat yang haram. Ia menjadi begitu karena Anda lama tidak berkunjung kepada seseorang, atau ada sikap adil yang Anda ambil namun menyakitkan orang lain, atau timbul keretakan hubungandari kesalahpahaman akibat ucapan dan lirikan mata yang tidak disengaja. Kesemuanya ini, tidak haram menurut pandangan hukum, namun perlu diselesaikan secara baik; yang berku dihangantkan, yang kusut diluruskan, dan yang mengikat dilepaskan.
Itulah makna serta substansi halal bihalal, atau jika istilah tersebut enggan Anda gunakan, katakanlah bahwa itu merupakan hakikat Idul Fitri, sehingga semakin banyak dan seringnya Anda mengulurkan tangan dan melapangkan dada, dan semakin parah luka hati yang Anda obati dengan memaafkan, maka semakin dalam pula penghayatan dan pengamalan Anda terhadap hakikat halal bihalal. Bentuknya memang khas Indonesia, namun hakikatnya adalah hakikat ajaran Islam.Semoga artikel ini bermanfaat untuk kita semua.
Wallahu'alam bissowab, Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh...