PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN MELALUI PEMBERDAYAAN PENGAWAS SEKOLAH/MADRASAH
I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah
Pada era otonomi
sekarang ini, sekolah harus berubah kearah yang sesuai dengan tuntutan masa,
agar tidak ketinggalan zaman. Jam ’an Satori (1999) dalam Dadang Suhardan (2006
: 8-9) menyatakan bahwa ”…perubahan yang seharusnya terjadi di sekolah pada era
otonomi pendidikan terletak pada : (1). Peningkatan kinerja staf, (2). Pengelolaan
sekolah menjadi berbasis lokal, (3). Efisiensi dan efektivitas pengelolaan
lembaga, (4). Akuntabilitas, (5). Transparansi, (6). Partisipasi masyarakat,
(7) Profesionalisme pelayanan belajar, dan (8). Standarisasi”. Kedelapan aspek
tersebut seharusnya membawa sekolah kepada keunggulan mutu lembaga, sebab
sekolah memiliki keleluasaan dalam melaksanakan peningkatan mutu layanan
belajar, namun kenyataannya belum terjadi. Menurut Dadang Suhardan
(2006:9):”…Sekolah-sekolah kini belum mampu memberi layanan belajar bermutu
karena belum mampu memberi kepuasan belajar peserta didiknya”.
Menurut Engkoswara
(2001 : 3), fungsi utama perilaku berorganisasi dalam bidang pendidikan yaitu
perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pendidikan yang menyangkut ketiga bidang
garapan utama, yaitu : sumber daya manusia (SDM), sumber belajar (SB), sumber
fasilitas dan dana (SFD). SDM terdiri atas peserta didik, tenaga kependidikan
dan masyarakat pemakai jasa pendidikan. SB ialah alat atau rencana kegiatan
yang akan dipergunakan sebagai media seperti kurikulum. SFD adalah faktor
pendukung yang memungkinkan pendidikan berjalan dengan harapan.
Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, telah dijabarkan dalam
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,
yang memberi arahan perlunya disusun dan dilaksanakan 8 (delapan) Standar
Nasional Pendidikan, yang meliputi : (1) standar isi; (2) standar proses; (3)
standar kompetensi lulusan; (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan; (5)
standar sarana dan prasarana; (6) standar pengelolaan; (7) standar pembiayaan
dan (8) standar penilaian.
Pengawas Satuan
pendidikan merupakan tenaga kependidikan mutlak
terstandarisasi kompetensinya secara nasional menurut PP No 19 tahun 2005 di
atas, yakni standar pendidik dan tenaga kependidikan nasional. Karena Pengawas Sekolah/madrasah adalah salah satu unsur yang
berperan aktif dalam lembaga pendidikan (persekolahan). Pengawas Satuan
Pendidikan adalah pelaku pendidikan didalam pelaksanaan tugas kepengawasan
pendidikan yang meliputi tiga aspek yaitu supervisi, pengendalian (kontroling)
dan inspeksi kependidikan.
Untuk
meningkatkan mutu pendidikan, pengawas dituntut keprofesionalannya untuk
melaksanakaan tugas pokok dan fungsinya sesuai kompetensinya. Karena tugas
pengawas sangat erat kaitannya dengan penjaminan mutu pendidikan di suatu
lembaga persekolahan.
Usaha apapun yang
telah dilakukan pemerintah mengawasi jalannya pendidikan untuk mendobrak mutu
bila tidak ditindak lanjuti dengan pembinaan gurunya, maka tidak akan berdampak
nyata pada kegiatan layanan belajar dikelas. Kegiatan pembinaan guru merupakan
bagian yang tak terpisahkan dalam setiap usaha peningkatan mutu pembelajaran
(Dadang suhardan, 2006 : 9). Disatu pihak peranan
Pengawas satuan Pendidikan didalam pembinaan profesional guru sangat signifikan
terhadap produktivitas dan efektifitas kinerja guru tersebut. Masalah dukungan
kemudahan dan faktor rintangan pelaksanaan pemberian bantuan profesional kepada
guru tampaknya disadari sebagai sesuatu aspek yang tidak bisa dilepaskan dari
seluruh keberhasilan kegiatan upaya peningkatan mutu pembelajaran.
LAN
(2004) seperti yang dikutip Suradji dalam Ridwan (2009 : 269) menyatakan bahwa
: “Kinerja atau performansi dapat diartikan sebagai prestasi kerja, pencapaian
kerja, hasil kerja atau unjuk kerja”. Dengan demikian diduga ada dua variabel
sebagai penyebab rendahnya kinerja profesional guru yaitu varibel supervisi
pengawas dan kepemimpinan kepala sekolah dalam penciptaan iklim kerja (iklim
sekolah) yang kurang kondusif bagi pengembangan produktivitas kinerja guru.
Dari
dua variabel tersebut dilakukan pengamatan dan analisis patut diduga yang
menjadi penyebab rendahnya kinerja pengawas (perilaku kepengawasan) antara lain
belum terpenuhinya standar kompetensi pengawas satuan pendidikan dalam hal :
(1) kepribadian, (2) supervisi akademik, (3) supervisi manajerial, (4) sosial,
(5) evaluasi pendidikan, dan (6) penelitian pengembangan. Sementara tidak
efektifnya kepemimpinan kepala sekolah juga karena tidak terpenuhinya standar
kompetensi kepala sekolah yang dipersyaratkan yaitu kepribadian, manajeral,
kewirausahaan, sosial, dan supervisi. Sedangkan Iklim kerja guru sebagai
penyebab efektif tidaknya kinerja guru dipengaruhi oleh : (1) faktor individu,
(2) faktor organisasi, dan (3) faktor lingkungan. Demikian halnya rendahnya
kinerja profesional guru karena belum diwujudkannya standar kompetensi guru
secara komprehensif dalam hal : (1) profesional, (2) pedagogik, (3)
kepribadian, dan (4) sosial. (BSNP, 2007).
Dari
uraian di atas penulis membatasi uraian pada tema PENJAMINA MUTU PENDIDIKAN MELALUI PEMBERDAYAAN
KINERJA PENGAWAS SEKOLAH / MADRASAH sebagai topik pilihan bahasan dalam mata kuliah
Seminar Profesionalisasi Administrasi Pendidikan
B.. Tujuan Penulisan Karya Ilmiah
1. Tujuan umum
Secara umum bertujuan untuk memperoleh gambaran
kepengawasan satuan pendidikan dan peranannya bagi peningkatan kinerja guru
2. Tujuan khusus
a. Terdeskripsikannya gambaran Perilaku
Kepengawasan Satuan Pendidikan didalam melaksanakan Tugas Pokok dan Fungsinya
untuk pembinaan guru di sekolah/madrasah.
b. Terdeskripsikannya iklim kerja pengawas
dan suasana lingkungan kerja guru dalam meningkatkan produktivitas kerja guru
di sekolah
II.
PEMBAHASAN TEORITIS
A. Pengertian Supervisi (kepengawasan).
Secara etimologi, kata ”pengawasan (supervisi)”, berasal dari istilah
Inggeris ”supervision”, terdiri dari dua kata ”super (lebih)” dan ”Vision
(melihat)”, yang berarti ”melihat dari atas” (S. Arikunto, 2004 : 4), yakni
melihat dengan teliti pekerjaan secara keseluruhan. Sedangkan orang yang
melakukan supervivi tersebut, dikenal dengan supervisor atau pengawas. Menurut
N.A. Ametembun,1975 (dalam M.Amin Thaib & A. Subagio, 2005:2), bahwa
pengawasan pendidikan atau supervisi pendidikan ”adalah pembinaan kearah
perbaikan situasi pendidikan pada umumnya dan peningkatan mutu belajar mengajar
dikelas pada khususnya”.
Syaiful Sagala (2009 : 194-195), mengutip beberapa pendapat tentang
Supervisi pendidikan atau Kepengawasan adalah :
(1). teknik
pelayanan yang bertujuan untuk mempelajari dan memperbaiki secara bersama-sama
faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak (Burton dan
Brueckner, 1955)
(2). Setiap
pelayanan kepada guru-guru yang bertujuan mengahasilkan perbaikan instruksional,
layanan belajar, dan perkembangan kurikulum (Neagley, 1980)
(3). suatu
bantuan dalam pengembangan dan peningkatan situasi pembelajaran yang lebih baik
(Kimball Wiles, 1956)
(4). Ide-ide
pokok dalam menggalakkan pertumbuhan profesional guru, mengembangkan
kepemimpinan demokratis, melepaskan energi, memecahkan masalah belajar-mengajar
dengan efektif (Oteng sutisna, 1982)
(5). segala
usaha dari pejabat sekolah yang diangkat dan diarahkan pada penyediaan
kepemimpinan bagi guru dan tenaga kependidikan lain dalam perbaikan pengajaran,
memberi simulasi untuk pertumbuhan jabatan guru yang lebih profesional, seleksi
dan revisi tujuan-tujuan pendidikan, bahan pengajaran, metode-metode
pengajaran, dan evaluasi pengajaran (Carter Good’s Dictionary of Education, dalam
Sutisna, 1982 : 223).
Menurut Dadang Suhardan (2006:28), supervisi adalah pengawasan profesional
yang dijalankan berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan. Oleh karena itu Pengawas
satuan Pendidikan tidak dapat dilakukan oleh sembarangan pengawas apalagi oleh
orang yang tidak dipersiapkan terlebih dahulu, tetapi harus dijalankan oleh
orang yang sesuai keahliannya. Dan semua pakar menyepakati bahwa ”Supervisi
Pendidikan merupakan disiplin ilmu yang memfokuskan diri pada pengkajian
peningkatan situasi belajar mengajar, memberdayakan guru dan mempertinggi
kualitas mengajar”. Sebagai dampak meningkatnya kualitas pembelajaran, tentu
dapat meningkat pula prestasi belajar siswa, dan itu berarti meningkatlah
kualitas lulusan sekolah itu (S. Arikunto, 2004 : 5). Disamping itu pula
kegiatan pokok supervisi pada umumnya adalah melakukan pembinaan kepada
sekolah.
Apabila
didasarkan pada konsep pengertian di atas, kegiatan supervisi menurut Oteng
Sutisna (1989:242), S. Arikunto (2004 : 5) dan Satori (2001:2) dibedakan
menjadi dua, yaitu (1) supervisi akademik (pengawasan business core/pengawasan
operasional), dan (2). Supervisi administrasi (pengawasan manajerial/pengawasan
organisasional). Supervisi akademik, menitik beratkan pengamatan pada masalah
yang langsung berada dalam lingkup pembelajaran yang dilakukan guru untuk
membantu siswa ketika sedang dalam proses belajar. Sedangkan supervisi
administrasi, menitik beratkan pengamatan pada aspek-aspek administrasi sebagai
lingkungan belajar yang berfungsi mendukung terlaksananya pembelajaran. Kedua
bentuk kegiatan supervisi itu, disebut sebagai supervisi pendidikan. Pengawasan
pendidikan di sekolah bersifat ”student-driven”, yang kepentingan utamanya
menurut Jam’an Satori (2001 : 2) adalah menjamin mutu pembelajaran sehingga dicapai
hasil belajar yang bermutu. Dengan demikian pengawasan pendidikan di sekolah
ditujukan untuk mengendalikan mutu layanan dan hasil belajar siswa.
B. Perilaku Kepemimpinan Sekolah dan Pengawas Satuan Pendidikan
Pendekatan perilaku (behavioral approach) adalah
pendekatan yang didasarkan pada pemikiran bahwa keberhasilan atau kegagalan
pemimpin disebabkan oleh sikap dan gaya kepemimpinan seseorang. Pendekatan
perilaku merupakan konsep kepemimpinan yang sesuai dengan prinsip-prinsip
mendidik. Tidak seorangpun akan mengingkari bahwa salah satu fungsi pendidikan
adalah mengubah tingkahlaku (Ngalim Purwanto, 2008 : 46). Para pemimpin
pendidikan, termasuk Pengawas satuan pendidikan, kepala sekolah, dan para guru,
perlu menyadari bahwa setiap lembaga pendidikan memiliki keberagaman situasi,
sehingga memerlukan perilaku kepemimpinan yang berbeda. Setiap kelas memiliki
semangat dan suasana yang berlainan, sehingga diperlukan cara pelayanan dan
cara mengajar yang bervariasi dari seorang guru berpengalaman. Dengan mengetahui
berbagai model dan gaya kepemimpinan, diharapkan stakeholder pendidikan
(pengawas dan kepala sekolah) dapat memilih dan menerapkan perilaku
kepemimpinan mana yang dipandang lebih efektif berdasarkan sifat-sifat,
perilaku kelompok, dan kondisi serta situasi lembaga yang dibinanya.
M. Ngalim Purwanto (2008 : 55-58), mengemukakan
beberapa sifat yang diperlukan dalam kepemimpinan pendidikan antara lain : (a).
Rendah hati dan sederhana, ia hendaknya lebih banyak bertanya dan
mendengarkan dari pada berkata dan menyuruh. (b). Bersifat suka menolong,
senantiasa siap sedia membantu anggota-anggotanya tanpa diminta bantuannya,
namun tidak memaksakan. (c). Sabar dan memiliki kestabilan emosi,
tidak memperlihatkan kekecewaannya dalam menghadapi kegagalan dan sebaliknya.
(d). Percaya kepada diri sendiri, menaruh kepercayaan sepenuhnya
kepada anggota-anggotanya, percaya bahwa mereka pasti bisa melakukan tugas
dengan baik. (e). Jujur, adil, dan dapat dipercaya, selalu menepati
janji dan tidak lekas mengubah haluan, hati-hati dalam mengambil keputusan dan
teliti dalam melaksanaannya seta berani mengakui kesalahan dan kekurangan
sendiri. (f). Keahlian dalam jabatan, ahli dalam bidang pekerjaan yang
dipimpinnya. Sifat a sampai e yang telah disebutkan itu berkaitan dengan sifat-sifat
watak pribadi yang sebagian besar adalah hasil pengaruh faktor-faktor pembawaan
dan lingkungan, yang memberikan kedudukan yang kuat bagi kita untuk melakukan
interaksi kemanusiaan. Namun, bagaimanapun besarnya kesediaan kita untuk
membantu kelompok dalam kesulitan-kesulitan pekerjaan, tanpa keahlian yang
memadai, maka tentunya kita tidak dapat memberikan bantuan yang diperlukan.
Faktor-faktor dominan yang mempengaruhi perilaku
seorang pemimpin (M.N.Purwanto, 2008 : 59-61) adalah :
1). Keahlian dan pengetahuan yaqng
dimiliki oleh pemimpin untuk menjalankan kepemimpinannya
2). Jenis pekerjaan atau lembaga tempat
pemimpin itu melaksanakan jabatannya
3). Sifat-sifat kepribadian pemimpin.
Secara psikologis manusia itu berbeda-beda sifat, watak, dan kepribadiannya. Ada yang bertindak tegas dan keras tetapi
ada pula yang lemah dan kurang berani.
4). Sifat-sifat kepribadian pengikut atau
kelompok yang dipimpinnya. Menurut Arifin Abdurachman yang ditulis N.M.
Purwanto (2008:60) ada lima macam kepengikutan karena naluri atau nafsu, tradis
dan adat, agama dan budi nurani, rasio dan kepengikutan karena peraturan hukum.
5). Sangsi-sangsi yang ada ditangan
pemimpin. Kekuatan- kekuatan yang ada dibelakang pemimpin menentukan sikap dan
tingkah lakunya.
C. Sasaran Pengawasan Pendidikan di
Sekolah/Madrasah
Supervisi hadir karena satu
alasan yang menurut Oteng Sutisna (1982) ”…untuk memperbaiki mengajar dan
belajar…untuk membimbing pertumbuhan kemampuan dan kecakapan profesional guru”.
Supervisi mendorong guru menjadi lebih berdaya, dan situasi pembelajaran
menjadi lebih baik dan efektif, guru menjadi lebih puas dalam melaksanakan
tugasnya. Ini berarti kedudukan supervisi merupakan komponen strategis dalam
administrasi pendidikan. Menurut Fritz Carrie dan Greg Miller,2003 dalam Dadang
Suhardan (2006:32) ”bila tidak ada unsur supervisi, sistem pendidikan secara
keseluruhan tidak akan berjalan dengan efektif dalam usaha mencapai tujuannya”.
Dengan demikian sistem pendidikan dapat berfungsi sebagaimana mestinya dalam
usaha mencapai tujuan pendidikan.
Sesuai dengan konsep ”core
business” sekolah, Djam’an Satori (2001 : 4-5 ) menyatakan bahwa untuk memenuhi
fungsi quality assurance, sasaran pengawasan pendidikan di sekolah harus
diarahkan pada pengamanan mutu layanan belajar mengajar (apa yang terjadi di
kelas, laboratorium atau di tempat praktek) dan mutu kinerja manajemen
sekolah/madrasah.. Dalam tingkat analisis terhadap pengamanan mutu layanan
belajar-mengajar faktor guru paling dominan, sehingga pengawasan pendidikan di
sekolah menaruh perhatian pada akuntabilitas profesional guru. Dalam analisis
pengawasan mutu manajemen sekolah adalah kinerja manajemen kepala sekolah.
Akuntabilitas profesonal guru
lanjut Djama’an Satori direfleksikan dalam 11 kemampuan antara lain : (1).
Merencanakan kegiatan belajar-mengajar (KBM), (2). Melaksanakan KBM, (3)
Menilai proses dan hasil belajar, (4) memanfaatkan hasil penilaian bagi
peningkatan layanan belajar, (5) memberikan umpan balik secara tepat, teratur
dan terus menerus kepada peserta didik, (6) Melayani peserta didik yang
mengalamikesulitan belajar, (7) mengembangkan interaksi pembelajaran yang
efektif strategi, metode, teknik, (8) mencptakan lngkungan belajar yang
menyenangkan, (9) mengembangkan dan memanfaatkan alat bantu dan media pembelajaran,
(10) memanfaatkan sumber-sumber belajar yang tersedia – buku perpustakaan,
laboratorium, lingkungan sekitar, (11) melakukan penelitian prakts (penelitian
tindakan kelas) bagi perbaikan pembelajaran.
Akuntabilitas profesional
kepala sekolah diukur dan direfleksikan dalam kinerja manajemen kepala sekolah
dalam membangun sekolah yang efektif. Cheng, 1996 dan Taylor, 1990 (Jam’an
Satori : 5) mengemukakan bahwa lembanga pendidikan efektif atau sekolah efektif
adalah sekolah yang menunjukkan kemampuan menjalankan fungsinya secara
maksimal, yakni semua sumber dayanya diorganisasikan dan dimanfaatkan untuk
menjamin peserta ddik, tanpa memandang ras, jenis kelamin, maupun status sosial
ekonmi, dan bisa mempelajari materi kurikulum yang esensial di institusi itu.
Sasaran pengawasan pendidikan
yang sifatnya tidak langsung menurut Djam’an Satori (2001 : adalah kinerja para
administrator pendidikan baik dilingkungan diknas maupun dilingkungan depag
(tingkat kecamatan untuk TK/RA, SD/MI, tingkat kabupatern/kota dan provinsi
untuk SLTP/MTs, SMA/MA/SMK/MAK) untuk memfasilitasi sekolah menyelenggarakan
manajemen sekolah/madrasah yang sehat dan berlangsungnya proses belajar
mengajar yang bermutu. Artinya, kegiatan pengawasan pendidikan di sekolah harus
pula peduli pada tindakan manajemen para praktisi pendidikan di tingkat
struktural / birokrat.
Pemberdayaan akunbilitas
profesional guru dan kepemimpinan / manajemen sekolah hanya akan berkembang
apabila didukung oleh penciptaan iklim dan budaya sekolah sebagai organisasi
belajar (learning organization), yaitu suatu kondisi institusi dimana para
anggotanya menunjukkan kepekaan terhadap kekuatan, kelemahan, peluang dan
tantangan yang dihadapi dan berupaya unuk menentukan posisi strategis bagi
pengembangan lembaganya. Mereka tidak hanya sekedar menjalan tugas pokok dan
fungsinya semata, tetapi juga memiliki sikap untuk selalu meningkatkan mutu
pekerjaannya, sehingga mereka harus mempelajari cara-cara yang paling baik
(learning professional). Jadi sasaran pengawasan pendidikan adalah menjadikan
kepala sekolah, guru dan staf lainnya sebagai learning professionals,
yaitu para profesional yang menciptakan budaya belajar dan mereka mau belajar
terus menyempurnakan pekerjaannya. Budaya ini memugkinkan terjadinya peluang
inovasi dari bawah –bottom up changes / inovation-dalam proses pembelajaran dan
manajemen sekolah (Djam’an Satori, 2001 : 7).
Dari uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa sasaran utama pengawasan pendidikan di sekolah ada tiga aspek
: (1). Peningkatan mutu pembelajaran melalui peningkatan kemampuan dan kinerja
profesional guru, (2). Peningkatan mutu manajemen kepala sekolah dalam rangka
penciptaan organisasi sekolah yang kondusif dan iklim budaya belajar, (3).
Kinerja para administrator pendidikan, yakni tindakan manajerial para personil
pendidikan di tingkat birokrat (struktural).
D. Analisis Kompetensi dan
Pembinaan Pengawas Pendidikan
Pembinaan kemampuan profesional pengawas
satuan pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kompetensi pengawas baik
kompetensi kepribadian, sosial, supervisi akademik dan manajerial, profesional,
maupun kompetensi penelitian dan pengembangan diri. Dengan meningkatnya
kompetensi pengawas diharapkan terjadi peningkatan kinerjanya sehingga
berdampak terhadap mutu pendidikan pada satuan pendidikan yang dibinanya.
Pembinaan diberikan kepada para pengawas satuan pendidikan untuk semua kategori
jabatan pengawas yakni pengawas pratama, pengawas muda, pengawas madya dan
pengawas utama.
Untuk dapat melaksanakan peran dan tugasnya seorang pengawas akademik
minimal harus memenuhi persyaratan berikut
1).
Memiliki atau menguasai pengetahuan dibidang mata pelajaran yang diawasi pada
tingkat yang lebih tinggi dari pada yang dimiliki oleh guru yang hendak
dibimbing dan dinilai.
2).
Memiliki pengetahuan yang cukup mengenai berbagai metode dan strategi
pembelajaran khususnya mata pelajaran yang bersangkutan serta pengalaman dalam
mengajarkannya.
3).
Memiliki pengetahuan yang cukup mengenai indikator keberhasilan maupun
kegagalan dalam mengajar.
4).
Memiliki kemampuan yang cukup dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan.
5).
Memilki pengetahuan yang cukup dalam hal manajemen mutu pendidikan ditingkat
sekolah, khususnya tentang program pengendalian mutu (quality assurance)
6).
Memiliki kemampuan mempengaruhi, meyakinkan, serta memotivasi orang lain.
Termasuk disini kemampuan dalam mengembangkan hubungan internasional.
7).
Memilki tingkat kemampuan intelektual yang memadai untuk dapat menemukan pokok
masalah, menganalisanya serta mengambil keputusan dari hasil analisis tersebut.
8).
Memiliki pengetahuan yang memadai dalam hal pengumpulan data secara sistematis
serta analisis terhadap data tersebut.
9).
Memiliki tingkat kematangan pribadi yang memadai, khususnya dibidang kematangan
emosi. (Yususf A. Hassan, et all.’2002:23-24)
Kriteria minimal untuk
menjadi pengawas sekolah sesuai pasal 39 PP Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan, meliputi:
a).
Berstatus sebagai guru minimal 8 tahun atau kepala sekolah sekurang-kurangnya 4
tahun pada jenjang pendidikan yang sesuai dengan satuan pendidikan yang diawasi
b).
Memilki sertifikat pendidikan fungsional sebagai pengawas satuaan pendidikan
c).
Lulus seleksi sebagai pengawas satuan pendidikan ( Lekdis, 2005 : 35). Dan bagi
pengawas SLTA minimal berkualifikasi pendidikan strata dua (S2) bidang
pengawasan, serta secara umum minimal berusia 50 tahun (Permendiknas No.12,
2007)
Pengawas adalah sekelompok jabatan fungsional yang
bertugas memonitoring, membimbing dan membina kehidupan lembaga persekolan. Olehnya
para pengawas harus tumbuh dan berkembang serta memiliki kompetensi profesional
dalam melaksanakan tugasnya, agar kinerja lembaga pendidikan dapat berjalan dan
berkembang dengan benar sesuai tuntutan kebutuhan. Selain itu dapat melahirkan
kebijakan – kebijakan baru dalam memecahkan masalah yang timbul dalam
pelaksanaan tugasnya. Jadi Pengawas dapat berperan sebagai seorang analis
kebijakan dan memahami rumusan kebijakan. Apa, bagaimana, siapa sasaran
kebijakan, dan dampak dari kebijakan itu. Kalau perumusan kebijakan pelatihan
guru misalnya dapat dilaksanakan, maka pengawas dapat mengamati dampak
pelatihan” itu melalui monitoring lapangan terhadap kinerja guru paska
pelatihan tersebut
III.
PERILAKU PENGAWAS TERHADAP IKLIM SEKOLAH DALAM RANGKA PENJAMINAN MUTU
PENDIDIKAN (Suatu Pembahasan Empiris).
Berbagai usaha
telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Misalnya
pengembangan kurikulum nasional dan lokal, peningkatan kompetensi guru, kepala
sekolah dan pengawas melalui pelatihan, pengadaan buku dan alat pelajaran,
sertifikasi guru/dosen/pengawas pendidikan, pengadaan dan perbaikan sarana dan
prasarana pendidikan, peningkatan mutu manajemen sekolah, dan akreditasi
sekolah/madrasah. Nampaknya segala usaha belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.
Masyarakat masih membicarakan lulusan sekolah/madrasah belum bermutu, juga
moral (kejujuran dan sopan santun) menurun. Disiplin, tanggung jawab dan rasa
malu sangat kurang, dan penyelewengan dimana-mana (Indonesia Negara terkorup
ketiga di dunia).
Menurut Buchari
Alma, at.al (2009 : 124), fenomena tersebut adalah produk dan outcome yang
diperoleh selama bersekolah. Mungkin ada hubungannya dengan budaya nyontek saat
ujian nasional dan ujian sekolah berlangsung dibawa toleransi guru karena suatu
pesanan harus lulus 100 %. Lanjut Buchari, akibat dari nyontek ini (tidak
jujur) jelas akan muncul perilaku/watak; tidak percaya diri, tidak disiplin,
tidak bertanggung jawab, tidak mau membaca buku pelajaran tapi rajin membuat
catatan kecil-kecil untuk bahan nyontek, potong kompas, menghalalkan semua
cara, dan akhirnya menjadi koruptor. Padahal ditengah-tengah kehidupan yang
semakin menglobal, nilai-nilai kejujuran menjadi semakin dibutuhkan dalam
persaingan usaha yang semakin kompetitif (Bahrul Kirom,2009:40). Inilah simpul
yang selama ini dibicarakan dan belum terpecahkan. Dalam mengatasi permasalahan
di atas, guru, kepala sekolah dan pengawas satuan pendidikan sangat diharapkan
peranannya sebagai tenaga profesional.
Guru profesional
akan dapat menyelenggarakan proses PBM yang bersih dan menyenangkan, sehingga
dapat mendorong kreatifitas pada diri siswa. Kepala sekolah profesional dapat
menyelenggarakan manajemen kepemimpinan yang efektif, sehingga tercapai iklim
sekolah yang kondusif. Pengawas profesional dapat melaksanakan tugas
pengendalian mutu pendidikan di sekolah/madrasah, dapat melakukan supervisi
akademik dan manajerial, penelitian pengembangan dan pembinaan untuk membantu
guru dan kepala sekolah dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
Kinerja merupakan
bentuk penilaian tersendiri (Bahrul Kirom, 2009 : 51) untuk mengukur tingkat
keberhasilan seseorang atau perusahaan (organisasi) dalam menjalankan
program-program kerjanya. Engkoswara (2001 : 3) menyatakan bahwa kriteria
keberhasilan suatu manajemen pendidikan ialah produktivitas pendidikan.
Produktivitas pendidikan dapat diukur dari sudut efektivitas dan efisiensi.
Efektivitas dilihat dari sudut prestasi dan proses pendidikan. Prestasi dilihat dari masukan dan keluaran
yang merata dan banyak, bermutu, relevan dan mempunyai nilai ekonomik.
Efisiensi pendidikan diharapkan dengan memanfaatkan tenaga, fasilitas, dana dan
waktu yang sedikit tapi hasilnya banyak, bermutu, relevan dan bernilai ekonomi
yang tinggi.
Tenaga
kependidikan yaitu guru, kepala sekolah, pengawas, perencana pendidikan,
pengembang kurikulum, petugas bimbingan, pustakawan, laboran, dan penguji
menurut Engkoswara (2001 : 42) mereka seyogyanya dipersiapkan secara
profesional dengan memperoleh fasilitas dan imbalan yang memadai, sehinga mereka
dapat melaksanakan pengabdiannya dengan sungguh-sungguh sejalan dengan kode
etik profesi masing-masing. Profesionalisasi tenaga kependidikan harus terus
ditingkatkan baik pendidikan, penempatan, pengorganisasian maupun
standarisasinya secara nasional.
A. Iklim
Sekolah
Kata “iklim” sebagai terjemahan istilah
“climate” didefinisikan oleh Bloom (1964) dalam tulisan Hadiyanto (2004 : 153),
sebagai kondisi, pengaruh dan rangsangan dari luar yang meliputi pengaruh
fisik, social dan intelektual yang mempengaruhi peserta didik. Iklim dimaksud
dibedakan atas iklim kelas dan iklim sekolah.
Iklim kelas (classroom climate), menurut
Hoy dan Forsyth, 1986, juga Hoy dan Mis Miskell, 1982 (Hadiyanto, 2004 : 153)
adalah merupakan kualitas dari lingkungan (kelas) yang terus menerus dialami
guru baik aspek social informal maupun aktivitas guru kelas yang secara spontan
mempengaruhi tingkah laku mereka. Selanjutnya Hoy dan Miskell (1982), juga Moos
(1979) mengillustrasikan “iklim kelas” sebagai “kepribadian” pada manusia, ada
yang berorientasi pada tugas, demokratis, formal, terbuka atau tertutup.
Iklim Sekolah (organizational climate),
merupakan suasana social psikologis di mana iklmi kelas berada didalamnya.
Menurut Hoy dan Miskell (1982) iklim sekolah adalah produk akhir interaksi
antar kelompok siswa, guru dan pegawai administrasi di sekolah yang bekerja
untuk pencapaian keseimbangan antara dimensi organisasi (sekolah) dengan
dimensi individu. Produk dimaksud mencakup nilai-nilai, kepercayaan social dan
standar social, merupakan kualitas dari lingkungan sekolah yang terus menerus
dialami oleh para guru dan mempengaruhi perilaku yang didasarkan pada persepsi
kolektif tingkah laku mereka. Sergiovanni dan Starratt, 1993 seperti yang
ditulis Hadiyanto (2004 : 178) menyebutkan, bahwa iklim sekolah merupakan
karakteristik yang ada (the enduring characteristics), yang menggambarkan
ciri-ciri psikologis dari suatu sekolah tertentu, yang membedakannya dengan
sekolah lain, telah mempengaruhi perilaku guru dan siswa sebagai perasaan psikologis
(psychological feel) sekolah itu.
Dimensi-dimensi iklim sekolah maupun iklim
kelas, telah dikembangkan oleh Moos, 1979 dan Arter, 1989 seperti yang dikutip
Hadiyanto (2004 : 154 – 180) yaitu : (1). Dimensi hubungan (relationship),
yaitu dukungan siswa (student support), afiliasi (affiliation), keretakan
(disengagement), keintiman (intimacy), kedekatan (closeness) dan keterlibatan
(involvement). (2). Dimensi pertumbuhan dan perkembangan pribadi (personal
growth/development), yakni minat professional (professional interest),
halangan (hindrance), kepercayaan (thrust), standar prestasi (achievement
standard) dan orientasi pada tugas (task orientation), (3) Dimensi
perubahan dan perbaikan system (system maintenance and change), adalah
kebebasan staf (staff freedom), partisipasi dalam pembuatan keputusan
(participatory decision making), inovasi (innovation), tekanan kerja (work
pressure), kejelasan (clarity) dan pengawasan (control). (4). Dimensi
lingkungan fisik (physical environment), antara lain : kelengkapan sumber
(resource adequacy), dan kenyamanan lingkungan (physical comfort).
Perbaikan iklim sekolahpun dapat dilakukan
oleh para supervisor (pengawas) satuan pendidikan baik dilingkungan diknas
maupun depag yang secara kontinyu melakukan pembinaan ke beberapa
sekolah/madrasah. Untuk itu para pengawas sekolah/madrasah (supervisor), harus
mempunyai profil iklim sekolah/madrasah dari masing-masing sekolah / madrasah
yang disupervisinya dengan mengadministrasikan alat ukur iklim sekolah.
Perbaikan iklim sekolah ini bergantung kepada prinsip kemandirian masing-masing
sekolah/madrasah. Sekolah/madrasah yang memilki gap yang menyolok antara iklim
sekolah yang dialami (actual school climate) dengan yang diinginkan (preferred
school climate) harus lebih peka untuk segera melakukan perbaikan.
Kepala sekolah/madrasah, sebagai
penanggung jawab pendidikan di sekolahnya dapat mengambil inisiatif perbaikan
iklim sekolah/madrsah dan menjadikan kegiatan itu sebagai suatu program
sekolah. Misalnya sebagai suatu penelitian tindakan, yang pelaksanaannya dapat
melibatkan guru secara kolaboratif dan para peneliti maupun akademisi yang
handal dibidangnya.
Dalam suatu penelitian Sutjipto dan
Hadiyanto (2003) terhadap iklim lima SD Swasta di Jakarta, telah terungkap
bahwa sekolah-sekolah yang iklimnya baik pada umumnya memiliki peserta didik
yang heterogen dan prestasinya menonjol, prasarana yang relative lengkap dan
guru yang lebih kompoten. Hasil penelitian tersebut telah dapat digunakan
sebagai input bagi kepala sekolah dan yayasan untuk melakukan supervise dalam
rangka perbaikan kualitas iklim sekolah yang akhirnya bermuara pada peningkatan
kualitas pendidikan di sekolah yang bersangkutan.
B. Iklim Kerja, Perilaku Guru dan Prestasi
Siswa
Dalam melaksanakan tugas, seseorang bisa
saja dipengaruhi atau tidak dipengaruhi oleh lingkungan dimana dia bekerja.
Misalnya seseorang dapat terlatih menyampaikan pendapat kepada guru lain dengan
baik, mungkin saja karena suasana di sekolah itu mendukung untuk melakukan hal
itu. Demikian pula sebaliknya dia tidak sopan dalam mengemukakan pendapatnya,
karena mungkin kepala sekolahnya tidak pernah member contoh yang baik. Studi
tentang keterkaitan antara iklim lembaga kerja dengan tingkahlaku seseorang,
telah dimulai sejak 1935 oleh Lewin. Lewin berpendapat dalam Hadiyanto (2004 :
182), bahwa tingkah laku merupakan akibat keterkaitan antara pribadi
pegawai/guru dengan lingkungan. Lebih jauh Lewin menjelaskan, bahwa untuk
mengetahui dan memprediksi tingkah laku psikologis pegawai atau guru (behavior),
seseorang harus mamahami bermacam-macam peristiwa psikologis seperti tindakan,
emosi, dan ekspresi seseorang (personality) dan lingkungan psikologisnya
(environment). Jadi lingkungan dan kepribadian sebagai faktor pembentuk
perilaku pegawai.
Menurut Murray dalam Fisher, 1990 seperti
yang dikutip Hadiyanto (2004 : 182-183), kebutuhan dan tekanan (press) dapat
dianalogkan sebagai pribadi dan lingkungan. Kebutuhan pribadi mengacu kepada
motivasi individu untuk mencapai suatu tujuan tertentu, sedangkan lingkungan
‘press’ merupakan situasi eksternal yang mendukung atau bahkan malah
menyebabkan kekacauan dalam mengungkapkan kebutuhan pribadi. Dengan demikian
lingkungan (sekolah) dapat menyebabkan perubahan tingkah laku siswa dan guru,
yang pada gilirannya mempengaruhi prestasi kerja mereka. Oleh karena itu
peranan kepala sekolah dan juga pengawas satuan pendidikan dalam menciptakan
iklim kerja yang kondusif memainkan peranan yang sangat strategis.
Steer, 1980 (Hadiyanto, 2004 : 184) telah
memakai konsep iklim organisasi, dan menyatakan keterkaitan antara iklim
organisasi (sekolah) dengan kepuasan kerja kerja karyawan (guru). Hadiyanto
(2004), telah mengungkapkan hasil penelitian Baedhowi (1988) dan Mufidayati
(1988) bahwa ada pengaruh iklim sekolah terhadap kepuasan kerja guru. Sementara
hasil penelitian Syafari (2000) terhadap guru-guru SMU di Wilayah Jakarta Timur
menunjukkan adanya korelasi yang signifikan antara iklim sekolah dengan
prestasi kerja guru, dan juga ada kontribusi antara iklim sekolah dengan prestasi
kerja guru sebesar 13,7 %.
Sebagai institusi sosial, sekolah
disamping perannya untuk memenuhi harapan system juga di dalamnya ada fenomena
perilaku sosial (Syafaruddin, 2008), sebagai akumulasi dari sederetan interaksi
antar individu dengan kepribadian sendiri dan disposisi kebutuhan menjadi
kebiasaan system. Organisasi sekolah sebagai sebuah sistem tidak luput dari
pengaruh luar yang turut mempengaruhi kinerja guru dalam pelaksanaan tugasnya.
Dewasa ini telah terjadi proses pembelajaran yang intens dengan lingkungan,
sehingga otoritas guru dalam meningkatkan kualitas dan produktivitas
pembelajarannya turut berkembang sejalan dengan masuknya pengaruh luar ke dalam
organisasi sekolah. Organisasi sekolah sebagai suatu sistem sosial pada
dasarnya merupakan suatu kerangka kerja dimana manajemen pendidikan bekerja
dengan fungsi-fungsinya, implementasi dari fungsi-fungsi tersebut akan
menggambarkan bagaimana gaya dan prilaku kepemimpinan didalam mengelola
organisasi sekolah.
Kinerja seseorang dipengaruhi oleh banyak
faktor, baik faktor individu maupun faktor oganisasi. Abbey and Dickson (1983)
menemukan bahwa kinerja inovatif individu dipengaruhi daya tarik sistem reward
serta persepsi atas keinginan organisasi dalam mendukung kerja inovatif. Dengan
demikian faktor kepemimpinan (pengaruh pemimpin) serta sistem reward/kompensasi
serta dukungan organisasi merupakan faktor yang penting dalam menentukan
kinerja inovatif pegawai. Sementara itu I Wayan Bagia (2005) dalam
penilitiannya memperoleh temuan bahwa kreatifitas berpengaruh langsung pada
inovasi pelayanan serta berperan sebagai perantara (variabel intervening) dari
modal intelektual dan kepuasan kerja, inovasi pelayanan menunjukkan suatu
pelaksanaan pekerjaaan pegawai yang inovatif sehingga hal tersebut dapat menggambarkan
kinerja pegawai yang inovatif dalam melaksanakan fungsi pelayanan.
Bagaimanapun, kebijakan pemberian dan peningkatan reward dan insentif cukup
beralasan dari perspektif motivasi dan kinerja, yakni mencakup peningkatan
produktivitas, memperbesar kepuasan kerja dan kemampuan bekerja (Syafaruddin,
2008 : 143).
C. Perilaku Kepengawasan dalam
Pengendalian Mutu Pendidikan di Sekolah
Dalam kegiatan di sekolah
seperti : administrasi, supervisi, evaluasi, manajemen maupun pengawasan
merupakakan kegiatan yang saling melengkapi satu sama lain dan sukar
dipisahkan, hanya dapat dibedakan, itupun hanya bisa dilakukan dalam bahasan
akademik (M.Rifai, 1987 dalam Dadang Suhardan, 2006). Administrasi
menggambarkan keseluruhan sistem pendidikan dan kebijaksanaannya. Supervisi
berhubungan dengan usaha meningkatkan mutu pembelajaran dan situasinya.
Evaluasi digambarkan sebagai alat untuk menterjemahkan kebijakan administrasi
kedalam kegiatan teknis operasional. Pengawasan atau kontrol merupakan usaha
untuk mempertahankan supaya proses pendidikan berjalan dengan semestinya dalam
tujuan mencapai tujuan yang dikehendaki dalam rencana (Gregorio,1966 dalam
Dadang Suhardan,2006:31) Pengawasan pada dasarnya digunakan untuk menjaga
keterlaksanaan program yang telah ditetapkan. Manajemen merupakan sistem
pengelolaan administarsi pendidikan yang meliputi unsur perencaanaan,
pelaksanaan, evaluasi dan pengawasan agar tujuan pendidikan tercapai secara
efektif dan efisien serta produktif.
M. Rifai, 1982 dan Oteng
Sutisna 1982 dalam Dadang Suhardan (2006 : 31) mengemukakan bahwa supervisi
merupakan pengawasaan yang lebih profesional dibandingkan dengan pengawasan
umum karena perkembangan kemajuan pendidikan yang membutuhkannya, yaitu
pengawasan akademik yang mendasarkan kepada kemampuan ilmiah. Pendekatannya
bukan lagi pengawasan manajemen biasa yang bersifat inhuman, melainkan menuntut
kemampuan profesional yang demokratis dan humanistik oleh para pengawas dalam
melaksanakannya. Karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, diperlukan
pengawasan yang lebih profesional, yang menuntut kemampuan profesional dari
para pengawasnya, dan bukan hanya wewenang administratif saja. Dan dengan
berkembangnya teori-teori pendekatan administrasi yang lebih memperhatikan
cara-cara pendekatan manusiawi dan sosial, maka pengawasan berkembang menjadi
lebih humanistik dan demokrasi, menjadi supervisi yang dipermasalahkan
sekarang. Dengan demikian supervisi merupakan usaha memberi pelayanan agar guru
menjadi lebih profesional dalam menjalankan tugas melayani peserta didiknya.
Suatu kenyataan lapangan
memperlihatkan gejala penurunan kinerja pengawas satuan pendidikan di
Indonesia, teristimewa Pengawas Pendaidikan Agama Islam (PAI) di sekolah. Ada
banyak faktor pemicunya; misanya saja rekrutmen pengawas hanya didasarkan pada
senioritas atau memperpanjang usia pensiun bagi birokrat atau masih dipandang
sebagai tempat isolasi bagi mereka yang berfikiran kritis dan inovatif. Belum
adanya perhatian yang serius dalam pembinaan karir pengawas, terutama dalam penyelenggaraan
tugasnya belum didukung oleh sarana prasarana dan alokasi pembiayaan yang
memadai.
D. Pemberdayaan
Pengawas Terhadap Pengendalian Mutu Pendidikan di Sekolah.
Dalam melaksanakan pembinaan dan
pengembangan profesi pengawas, peranan Korwas dan Asosiasi Pengawas Sekolah
Indonesia (APSI) dan Kelompok Kerja Pengawas (Pokjawas/Depag) sangat
diperlukan. Untuk itu pemerintah pusat dan daerah perlu memfasilitasi Korwas
dan APSI baik dalam hal dana/anggaran maupun daya dukung lainnya. Tidak
berlebihan apabila kepada Koordinator Pengawas diberikan tunjangan khusus
selain anggaran rutin untuk melakukan pembinaan dan pengembangan karir
pengawas. Mata anggaran untuk pembinaan dan pengembangan karir pengawas
sekurang-kurangnya terdiri atas beberapa kegiatan antara lain kegiatan :
1. Monitoring dan evaluasi kinerja pengawas satuan
pendidikan (sekolah/madrasah) untuk setiap bidang pengawasan.
2. Forum kegiatan ilmiah untuk pengembangan
kompetensi pengawas satuan pendidikan (sekolah/madrasah) yang dilaksanakan oleh
Korwas/Pokjawas dan atau APSI atau Badan Musyawarah Pengawas Sekolah/Madrasah
(BMPSM) setempat.
3. Penelitian dan pengembangan yang dilaksanakan
oleh para pengawas sekolah yang menunjang tugas pokok profesinya
(kepengawasan).
4. Keterlibatan dalam kegiatan ilmiah yang
dilaksanakan oleh lembaga lain seperti oleh perguruan tinggi, Departemen
Pendidikan dan lembaga lain yang relevan.
5. Studi lanjut/pelatihan/pendampingan dan studi
banding dalam rangka meningkatkan kinerja pengawas sekolah/madrasah.
6. Penyusunan laporan kegiatan kepengawasan serta
tindak lanjut hasil-hasil pengawasan untuk meningkatkan mutu pendidikan di
sekolah binaannya. (Nana Sudjana. Et all. 2006)
Pemberdayaan Pengawas Satuan
Pendidikan, sebagai suatu solusi yang ditawarkan antara lain :
- Perlunya pengorganisasian ulang Pengawas Pendidikan yang bersifat mandiri, berada diluar jalur birokrat kependidikan, tetapi berada dalam badan tersendiri yang memiliki posisi sederajat dengan pejabat di level kanwil/kandep/dinas provinsi/kab/kota berdampinan dengan Dinas, LPMP dan Badan Akreditasi Propinsi
- Rekrutmen pengawas benar-benar merujuk pada permendiknas no.12/2007 dan PP no.19/2005
- Pengawas memiliki kewenangan untuk menyeleksi calon kepala sekolah dan melakukan proyek pelatihan dan pengembangan bagi guru-guru, serta menilai kinerja guru dan kepala sekolah selanjutnya direkomendasikan dalam peningkatan karirnya.
- Pengawas dalam tugas supervisinya, berawal dari kegiatan inservice training, dilanjutkan dengan onservice training bagi para guru sesuai kwalifikasi dan kompetensi akademiknya dan juga bagi manajemen kepala sekolah dalam pengelolaan sekolah/madrasah.
- Semua kegiatan tersebut harus didukung oleh dana yang memadai, dan diproyeksikan dalam DIPA Badan Pengawas Pendidikan yang terlembagakan secara khusus dipemerintahan.
E. P E N U T U P
A. KESIMPULAN
Kemudahan merupakan
unsur yang memberikan keuntungan dalam pemberian bantuan profesional kearah
terjadinya peristiwa pemberian bantuan profesional sehingga mempercepat
tercapainya tujuan pembinaan. Kualitas pelayanan bantuan profesional diperoleh
manakala didukung oleh kemudahan-kemudahan yang tersedia, sehingga bantuan
profesional dapat berlangsung efektif. Sedangkan penghambat merupakan faktor
kendala yang mempersulit terwujudnya pemberian bantuan kearah peningkatan mutu.
Pengawas Satuan Pendidikan (dan para Kepala Sekolah) telah menyadari aspek
penghambat maupun aspek pendukung dalam realisasi pemberian bantuan profesional
terhadap kinerja guru.
Kondisi iklim organisasi
dan iklim kerja baik guru dan pengawas sekolah/madrasah saat ini, amat mendesak
untuk dilakukan perbaikan dari segala sudut agar proses pendidikan di
sekolah/madrasah berjalan efektif. Jika proses pendidikan berlangsung efektif,
maka produktivitas kinerja stakeholder pendidikan semakin tinggi, berarti mutu
pendidikan akan semakin meningkat di Indonesia.
Dalam struktur organisasi tingkat
kabupaten dan kota, pengawasan pendidikan di sekolah harus tetap diarahkan pada
pengendalian mutu dan upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan yang dilakukan
oleh para pengawas yang memiliki kompetensi yang sesuai untuk melakukan
pengawasan akademik, disamping pengawasan manajerial.. Kapasitas
ini diperlukan agar ia dapat melakukan quality assurance auditing.
Perlunya pengorganisasian ulang Pengawas
Pendidikan yang bersifat mandiri, berada diluar jalur birokrat kependidikan,
tetapi berada dalam badan tersendiri yang memiliki posisi sederajat dengan
pejabat di level kanwil/kandep/dinas provinsi/kab/kota berdampinan dengan
Dinas, LPMP dan Badan Akreditasi Propinsi. Penataan ulang organisasi pengawas
ini, agar ia dapat melaksanakan penjaminan mutu pendidikan secara efektif dan
produktif.
B. REKOMENDASI
Usaha-Usaha Pemecahan masalah yang
ditempuh antara lain :
1). Penyamaan visi dan misi,
2). Pengelolaan supervisi yang baik, 3). Partisipasi guru baik secara
individual atau kelompok dalam setiap putusan dan pelaksanaan supervisi, 4).
Pelibatan organisasi guru, seperti PKG dan KKG, serta KKKS atau KKM untuk
mengukur kemajuan sekolah/madrasah dan tempat “sharring” 5). Penguatan
Kelembagaan Pengawas menjadi sebuah badan disamping dinas propinsi Diknas
maupun kanwil Depag, melalui Undang-undang atau PP. 6). Rekrutmen pengawas
benar-benar merujuk pada permendiknas no.12/2007 dan PP no.19/2005 dan 7).
Pengawas berkewenangan menyeleksi calon kepala sekolah dan menangani proyek
pelatihan dan pengembanga, menilai kinerja guru dan kepala sekolah untuk
direkomendasikan dalam peningkatan karirnya.
REFERENSI
Alma, Buchari, at.al. 2009. Guru
Profesional. Bandung. Alfabeta
Arikunto, S. (2007). Dasar-Dasar Evaluasi
Pendidikan (cetakan ketujuh). Jakarta: Bumi Aksara.
Bagia, I Wayan (2005), Pengaruh Modal
Intelektual dan Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Pegawai Pemerintah daerah
Kabupaten di Provinsi Bali, Disertasi PPS Unpad Bandung
Engkoswara, 2001). Paradigma Manajemen
Pendidikan. Menyongsong Otonomi Daerah. Bandung. Yayasan Amal Keluarga
Hadiyanto, (2004) Mencari Sosok Desentralisasi
Manajemen Pendidikan di Indonesia. Jakarta. Penerbit Rineka Cipta.
Hassan, Yusuf A. Et.all (2002). Pedoman
Pengawasan. Jakarta. CV
Mekar jaya
Kirom, Bahrul (2009). Mengukur Kinerja
Pelayanan dan Kepuasan Konsumen. Bandung, Pustaka Reka Cipta.
Nana
Sudjana. Et all.
2006 Standar Mutu
Pengawas. Jakarta Departemen Diknas Dirjen Peningkatan Pendidikan dan tenagas
Kependidikan Direktorat Tenaga Kependidikan.
Purwanto, M. Ngalim (2008). Administrasi
dan Supervisi Pendidikan ( Cet Ke 18- Cet Ke 1, 1987). Bandung PT. Remaja Rosdakarya
Rifai, Veithzal (2005): Manajemen Sumber daya manusia untuk
Perusahaan,Jakarta,
Murai Kencana
Sagala, Syaiful
(2008). Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan. Bandung Alfabeta.
Suhardan,
H .Dadang ,(2006). Supervisi Bantuan Profesional,. Bandung. Mutiara Ilmu
Syafaruddin,
(2008). Efektivitas Kebijakan Pendidikan: Konsep, Strategi, dan Aplikasi
Kebijakan Menuju Organisasi Sekolah Efektif.. Jakarta. Rineka Cipta
Satori,
Djam’an (2001). Pengawasan Pendidkan di sekolah. Bandung,
Universitas Pendidikan Indonesia
Satori
Djam,an (1999). Supervisi Akademik dan Penjaminan Mutu Dalam Pendidikan
Persekolahan. Bandung Universitas
Pendidikan Indonesia.
Sutisna, Oteng (1989). Administrasi
Pendidikan. Dasar Teoritis Untuk Praktek Profesional. Bandung, Angkasa
Thaib, H.M.Amin & Subagio
(2005), Kepengawasan Pendidikan. Jakarta
Depag RI
Wahab,
Abdul Azis (2006), Anatomi Organisasi Kepemimpinan Pendidikan, Bandung. CV Alfabeta UPI
………2003
Profesionalisme Pengawas Pendais. Depag
RI Dirjen Kelembagaan Agama Islam Jakarta.
……………..2005 Standar
Nasional Pendidikan Jakarta. Lekdis
…………2004. Undang-Undang RI No. 23 tentang Otonomi Daerah. Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar