| 
   
Shalatnya Wanita di Masjid 
 | 
 
| 
   
Hadirnya Wanita Dalam Shalat Berjamaah di Masjid 
Sejak
  zaman Nubuwwah, kehadiran wanita dalam shalat berjamaah di masjid
  bukanlah sesuatu yang asing. Dalam artian, di antara shahabiyah ada yang ikut
  menghadiri shalat berjamaah di belakang para shahabat walaupun itu tidak
  wajib bagi mereka. (Lihat kembali Salafy edisi IX/Rabiul Akhir
  1417/1996 rubrik Ahkam yang membahas tentang hukum shalat
  berjamaah bagi wanita dan lihat pula edisi XVI/Dzulhijjah 1417/1997 rubrik Kajian
  Kali Ini). 
Ada beberapa
  dalil dari sunnah yang shahihah yang menunjukkan keikutsertaan wanita dalam
  shalat berjamaah di masjid. Tiga di antaranya kami sebutkan berikut ini : 
·  
  Hadits dari Aisyah radliyallahu 'anha, ia
  berkata : 
Rasulullah
  shallallahu 'alaihi wa sallam mengakhirkan shalat Isya hingga Umar memanggil
  beliau (dengan berkata) : "Telah tertidur para wanita dan anak‑anak."
  Maka keluarlah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata : "Tidak
  ada seorang pun selain kalian dari penduduk bumi yang menanti shalat
  ini." (HR. Bukhari dalam kitab Mawaqit Ash Shalah
  564 dan Muslim kitab Al Masajid 2/282) 
Imam
  Nawawi dalam syarahnya terhadap hadits di atas berkata : "Ucapan Umar
  (Telah tertidur para wanita dan anak‑anak) yakni di antara mereka yang
  menanti didirikannya shalat berjamaah di masjid." 
·  
  Dalam hadits lain, Aisyah radliyallahu 'anha mengabarkan
  : 
"Mereka
  wanita‑wanita Mukminah menghadiri shalat shubuh bersama Rasulullah
  shallallahu 'alaihi wa sallam dalam keadaan berselimut dengan kain‑kain
  mereka. Kemudian para wanita itu kembali ke rumah‑rumah mereka hingga mereka
  (selesai) menunaikan shalat tanpa ada seorangpun yang mengenali mereka karena
  masih gelap." (HR. Bukhari 578) 
·  
  Hadits dari Abi Qatadah Al Anshari radliyallahu
  'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : 
"Sesungguhnya
  aku berdiri untuk menunaikan shalat dan berkeinginan untuk memanjangkan
  shalat itu. Lalu aku mendengar tangisan bayi maka akupun memendekkan shalatku
  karena khawatir (tidak suka) memberatkan ibunya."
  (HR. Bukhari 868, Abu Daud 789, Nasa'i 2/94‑95 dan Ibnu Majah 991) 
Izin Bagi Wanita Untuk Keluar ke Masjid 
Shalatnya
  seorang wanita di rumahnya lebih utama daripada shalatnya di masjid (lihat
  rubrik Ahkam, Salafy edisi IX). Namun tidak
  berarti wanita dilarang dan harus dicegah bila ingin hadir berjamaah di
  masjid, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : 
"Apabila
  wanita (istri) salah seorang dari kalian meminta izin untuk ke masjid maka
  janganlah ia mencegahnya." (HR. Bukhari 2/347 dalam Fathul
  Bari, Muslim 442, dan Nasa'i 2/42) 
Salim bin
  Abdullah bin Umar menceritakan bahwasanya Abdullah bin Umar radliyallahu
  'anhuma berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
  sallam bersabda : 
"Janganlah
  kalian melarang istri‑istri kalian dari masjid bila mereka meminta izin untuk
  mendatanginya." (HR. Bukhari dan Muslim 442 dan hadits yang
  disebutkan di sini menurut lafadh Muslim) 
Salim
  berkata : Bilal bin Abdullah bin Umar lalu berkomentar: "Demi Allah,
  kami benar‑benar akan melarang mereka." 
(Mendengar
  ucapan seperti itu, ‑pent.) Abdullah bin Umar memandang Bilal kemudian
  mencelanya dengan celaan yang buruk yang aku sama sekali belum pernah
  mendengar celaannya seperti itu terhadap Bilal. Dan Abdullah berkata : "Aku
  kabarkan kepadamu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lalu engkau
  menimpali dengan ucapanmu, 'demi Allah, kami benar‑benar akan melarang
  mereka!'" 
Beberapa Perkataan Ulama Dalam Permasalahan Ini 
Berkata Imam
  Nawawi rahimahullah : [ Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa
  sallam : 
"Janganlah
  kalian melarang hamba‑hamba perempuan Allah dari masjid‑masjid Allah" 
Dan yang
  semisalnya dari hadits‑hadits dalam bab ini menunjukkan bahwa wanita tidak
  dilarang mendatangi masjid akan tetapi harus memenuhi syarat‑syarat yang
  telah disebutkan oleh ulama yang diambil dari hadits‑hadits yang ada. Seperti
  wanita itu tidak memakai wangi‑wangian, tidak berhias, tidak mengenakan
  gelang kaki yang bisa terdengar suaranya, tidak mengenakan pakaian mewah,
  tidak bercampur-baur dengan laki‑laki, dan wanita itu bukan remaja putri
  (pemudi) yang dengannya dapat menimbulkan fitnah serta tidak ada perkara yang
  dikhawatirkan kerusakannya di jalan yang akan dilewati dan semisalnya. ]
  (Syarhu Muslim 2/83) 
Syaikh
  Musthafa Al Adawi hafidhahullah memberi komentar terhadap ucapan Imam
  Nawawi di atas : 
[
  Terhadap ucapan Imam Nawawi rahimahullah tentang pelarangan remaja
  putri (pemudi untuk hadir di masjid) perlu dilihat kembali. Kami belum
  mendapatkan dalil yang jelas yang melarang pemudi atau membedakan antara
  pemudi dan yang selainnya untuk pergi ke masjid. ] (Jami'
  Ahkamin Nisa' juz 1 halaman 278) 
Imam Nawawi
  juga berkata dalam Al Majmu' Syarhul Muhadzdzab 4/199 : [
  Larangan dalam hadits : "Janganlah kalian melarang hamba‑hamba
  perempuan Allah dari masjid‑masjid Allah." 
Hal ini
  merupakan larangan tanzih/makruh (bukan larangan yang menunjukkan tahrim/haram,
  pent.) karena hak suami agar istri tetap tinggal di rumah wajib dipenuhi.
  Maka janganlah si istri meninggalkannya untuk mengerjakan amalan yang tidak
  wajib. ] 
Abu Muhammad
  bin Hazm rahimahullah dalam Al Muhalla-nya menyatakan : 
"Tidak
  halal bagi wall wanita dan tidak juga bagi majikan budak wanita untuk
  melarang keduanya menghadiri shalat berjamaah di masjid jika diketahui bahwa
  mereka memang hendak shalat. Dan tidak halal bagi mereka (kaum wanita) untuk
  keluar dalam keadaan memakai wangi‑wangian dan mengenakan pakaian yang indah
  (mewah). Bila si wanita melakukan hal demikian maka hendaklah dicegah."
  (Al Muhalla 2/170) 
Al Baihaqi rahimahullah
  menyebutkan dalam Sunan-nya (3/133) bahwa perintah untuk tidak
  melarang wanita merupakan perintah yang sunnah dan bersifat bimbingan, bukan
  perintah yang menunjukkan fardlu dan wajib. 
Syaikh
  Musthafa Al Adawi berkata : 
"Bila
  tidak dijumpai adanya sebab yang dapat menghalangi keluarnya wanita menuju ke
  masjid maka wajib bagi suami untuk mengizinkannya karena adanya larangan Nabi
  shallallahu 'alaihi wa sallam dari mencegahnya. Wallahu a'lam."
  (Jami' Ahkamin Nisa' 1/279) 
Syaikh Abu
  Ishak Al Huwaini Al Atsari hafidhahullah dalam kitabnya, Al
  Insyirah fi Adabin Nikah halaman 72‑74) setelah membawakan hadits
  yang artinya : 
"Bila
  istri salah seorang dari kalian meminta izin untuk ke masjid maka janganlah
  ia mencegahnya." 
Syaikh menyatakan
  : [ Dalam hadits ini menunjukkan bahwa keluarnya istri harus dengan
  izin suami. Seandainya si suami menahan istrinya (untuk keluar) maka si suami
  tidak berdosa menurut pendapat yang terpilih dari pendapat-pendapat para Ahli
  Tahqiq dan telah berkata Al Baihaqi : "Dengan inilah mayoritas ulama
  berpendapat." 
Adapun hadits
  yang berbunyi : 
"Janganlah
  kalian melarang hamba‑hamba perempuan Allah dari masjid‑masjid Allah" 
Perintah di
  sini (yakni perintah untuk tidak melarang wanita ke masjid, pent.) tidaklah
  menunjukkan wajib. Karena seandainya wajib, maka tidak ada maknanya meminta
  izin. Wallahu a'lam. ] 
Pendapat Aisyah radliyallahu 'anha dan
  Bimbingannya 
Imam Bukhari rahimahullah
  meriwayatkan ucapan Aisyah radliyallahu 'anha : 
"Seandainya
  Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sempat menemui apa yang diada‑adakan
  oleh para wanita (saat ini) niscaya beliau akan melarang mereka sebagaimana
  dilarangnya wanita‑wanita Bani Israil." (HR. Bukhari hadits 869 dan
  dikeluarkan juga oleh Muslim 445) 
Dalam riwayat
  Muslim disebutkan : Salah seorang rawi bertanya kepada Amrah binti
  Abdirrahman (murid Aisyah yang meriwayatkan hadits ini darinya) :
  "Apakah para wanita Bani Israil dilarang ke masjid?" Amrah menjawab
  : "Ya, adapun hal‑hal baru yang diperbuat para wanita Bani Israil di
  antaranya memakai wangi‑wangian, berhias, tabarruj, ikhtilath, dan kerusakan‑kerusakan
  lainnya." 
Ibnu Hajar rahimahullah
  berkata dalam Fathul Bari (2/350) : "Shalatnya
  wanita di rumahnya lebih utama baginya karena terjamin aman dari fitnah. Dan
  yang menguatkan hal ini setelah munculnya perbuatan tabarruj dan pamer
  perhiasan yang dilakukan oleh para wanita. Terlebih lagi Aisyah radliyallahu
  'anha telah berkata dengan apa yang dia katakan. Sebagian orang berpegang
  dengan ucapan Aisyah ini untuk melarang wanita (ke masjid) secara mutlak dan
  pendapat ini perlu ditinjau kembali." 
Beliau
  berkata lagi : "Aisyah mengaitkan larangan dengan syarat, yang ia
  menganggap bila Nabi sempat melihat (perbuatan para wanita itu) niscaya
  beliau akan melarangnya. Dengan demikian, dikatakan kepada orang yang
  berpendapat wanita dilarang secara mutlak (ke masjid) bahwa Nabi tidak
  sempat melihat (perbuatan para wanita itu) dan beliau tidak melarang, hingga
  hukum (kebolehan wanita ke masjid dan larangan untuk mencegah mereka, pent.)
  terus berlaku ... ." 
Berkata
  Syaikh Musthafa Al Adawi setelah membawakan riwayat Aisyah di atas : 
[ Ini
  merupakan pendapat Aisyah radliyallahu 'anha berkenaan dengan
  keluarnya wanita ke masjid ... . Beliau berpendapat (perlunya) larangan
  karena sebab yang disebutkan. Pendapat ini memiliki arti bila ada fitnah dan
  adanya kekhawatiran terhadap kaum pria dan wanita dari fitnah itu. Akan
  tetapi kita kembali dan kita katakan : Pendapat ini tempatnya bila fitnah
  terwujud nyata. Adapun melarang mereka karena (menganggap) semata‑mata ke
  masjid itu adalah fitnah maka ini pendapat yang lemah. Allah Ta'ala
  telah berfirman : 
"Dan
  tidaklah Tuhanmu lupa." (QS. Maryam : 64) 
"Tidaklah
  Kami luputkan sesuatu pun di dalam Kitab ini." (QS. Al An'am : 38) 
Dan layak untuk
  kami (Musthafa Al Adawi) nukilkan di sini ucapan Al Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah
  dalam Fathul Bari 2/350. Beliau menyatakan : " …
  dan juga Allah subhanahu wa ta'ala telah mengetahui apa yang akan
  mereka (para wanita) perbuat. Namun Allah tidak mewahyukan kepada Nabi‑Nya
  untuk melarang mereka (mendatangi masjid). Seandainya apa yang mereka perbuat
  mengharuskan untuk melarang mereka dari masjid, niscaya melarang mereka dari
  selain masjid seperti mendatangi pasar‑pasar adalah lebih utama. Dan juga
  perbuatan yang diada‑adakan itu hanya dilakukan oleh sebagian wanita, tidak
  seluruhnya. Maka pengkhususan larangan (penunjukkan larangan) ditujukan
  kepada wanita yang berbuat. Yang lebih utama adalah menilik perkara yang
  dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan, lalu menghindarinya berdasarkan
  isyarat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan melarang memakai
  wangi‑wangian dan berhias." (Lihat Jami' Ahkamin Nisa' 1/280)
  ] 
Ibnu Hazm rahimahullah
  dalam Al Muhalla (3/ 134) menyebutkan enam sisi bantahan
  terhadap orang yang berhujjah dengan ucapan Aisyah radliyallahu 'anha
  ini untuk melarang wanita ke masjid secara mutlak. Dua sisi di
  antaranya kami sebutkan secara ringkas di bawah ini : 
Sisi pertama
  : Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak sempat
  melihat apa yang diperbuat para wanita, maka beliau tidak melarang mereka ke
  masjid. Apabila beliau sendiri tidak melarang mereka (ke masjid) maka berarti
  melarang mereka adalah bid'ah dan kesalahan. Ini sama dengan firman Allah Ta'ala
  : 
"Wahai
  istri‑istri Nabi, siapa di antara kalian yang mengerjakan perbuatan keji yang
  nyata niscaya akan dilipatgandakan siksaan padanya dua kali lipat ... ." (QS.
  Al Ahzab : 30) 
Maka mereka
  sama sekali tidak mengerjakan perbuatan keji yang nyata sehingga tidak
  dilipatgandakan adzab bagi mereka, walhamdulillah. Dan juga seperti
  firman Allah Ta'ala : 
"Jikalau
  sekiranya penduduk negeri‑negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
  melimpahkan kepada mereka barakah dari langit dan bumi." (QS.
  Al A'raf : 96) 
Maka mereka
  tidak beriman sehingga tidak dibukakan barakah bagi mereka. 
Sisi Kedua : Aisyah
  radliyallahu 'anha tidak berpendapat melarang para wanita karena sebab
  itu dan ia tidak berkata : "Laranglah mereka karena apa yang mereka
  perbuat." Akan tetapi Aisyah mengabarkan : "Andai Nabi shallallahu
  'alaihi wa sallam masih hidup niscaya beliau melarang mereka ... ." 
Kami katakan : Seandainya Nabi shallallahu
  'alaihi wa sallam melarang mereka, kami pun melarang mereka. Dan
  bila beliau tidak melarang maka kami pun tidak melarang mereka. 
Syarat‑Syarat Yang Harus Dipenuhi 
Wanita dibolehkan menghadiri
  shalat berjamaah di masjid namun harus memenuhi ketentuan‑ketentuan yang
  ditetapkan syariat seperti tidak memakai wangi‑wangian sebagaimana dikabarkan
  oleh Zainab Ats Tsaqafiyah, istri Abdullah bin Mas'ud radliallahu anhuma.
  la berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada
  kami : 
"Bila
  salah seorang dari kalian (para wanita) ingin menghadiri shalat di masjid
  maka janganlah ia menyentuh wewangian." (HR.
  Muslim 4/163, Ibnu Khuzaimah 1680, dan Al Baihaqi 3/439) 
Demikian juga hadits Abi
  Hurairah radliyallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
  : 
"Wanita
  mana saja yang memakai wangi‑wangian maka janganlah ia menghadiri shalat lsya
  yang akhir bersama kami." (HR. Muslim 4/162, Abu Daud
  4175, dan Nasa'i 8/154) 
Syaikh Musthafa Al Adawi berkata
  : 
[ Abu
  Muhammad Ibnu Hazm rahimahullah memiliki pendapat yang ganjil di mana
  ia berkata dalam Al Muhalla 4/78 : 
"Tidak halal bagi seorang
  wanita menghadiri shalat di masjid dalam keadaan memakai wangi‑wangian. Jika
  ia melakukannya maka batallah shalatnya." 
Ini merupakan pendapat yang
  ganjil dari beliau rahimahullah. Yang benar, --wallahu a'lam-‑
  wanita yang melakukan perbuatan demikian (memakai wewangian ketika keluar
  menuju masjid) berarti telah berbuat dosa, akan tetapi dosanya
  tersendiri dari shalatnya dan tidak ada hubungan antara dosa itu dengan
  batalnya shalat. Allahu a'lam. ] (Jami' Ahkamin Nisa'
  1/288) 
Al Qadli 'Iyadl rahimahullah
  menyebutkan syarat dari ulama berkenaan dengan keluarnya wanita, di antaranya
  tidak mengenakan perhiasan, tidak memakai wewangian, dan tidak berdesak‑desakan
  dengan laki‑laki. Kata Al Qadli : "Termasuk dalam makna wewangian adalah
  menampakkan perhiasan dan keindahannya. Jika ada sesuatu dari perbuatan
  demikian maka wajib melarang mereka karena takut fitnah." 
Berkata Syaikh Abdullah Al
  Bassam dalam kitabnya, Taudlihul Ahkam (2/283) : 
[ Terhitung
  wangi‑wangian adalah sesuatu yang semakna dengannya berupa gerakan‑gerakan
  yang dapat mengundang syahwat seperti pakaian yang indah, perhiasan, dan
  dandanan. Karena aroma si wanita, perhiasan, bentuknya, dan penonjolan
  kecantikannya merupakan fitnah baginya dan fitnah bagi laki‑laki. 
Bila si wanita melakukan hal
  demikian atau melakukan sebagiannya, haram baginya untuk keluar berdasarkan
  hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu
  (telah disebutkan di atas, pent.) dan hadits dalam Shahihain
  dari Aisyah radliyallahu 'anhuma, ia berkata: 
"Seandainya
  Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melihat apa yang dilakukan para
  wanita sebagaimana yang kita lihat niscaya beliau akan melarang mereka ke
  masjid." ] 
Dituntunkan kepara para wanita
  yang hadir dalam shalat berjamaah di masjid untuk bersegera kembali ke rumah
  setelah menunaikan shalat. Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah radliyallahu
  'anha : 
"Sesungguhnya
  Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menunaikan shalat shubuh ketika hari
  masih gelap. Maka para wanita Mukminah berpaling (meninggalkan masjid) dalam
  keadaan mereka tidak dikenali karena gelap atau sebagian mereka tidak
  mengenali sebagian lainnya." (HR. Bukhari 872) 
Syaikh Musthafa Al Adawi berkata
  setelah membawakan hadits di atas: [ Imam Bukhari membuat satu bab
  untuk hadits ini dalam kitab Shahih-nya dan diberi judul : Bab
  Bersegeranya Wanita Meninggalkan Masjid Setelah Shalat Shubuh dan Sebentarnya
  Mereka Berdiam di Masjid. Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul
  Bari menjelaskan : "Dikhususkan waktu shubuh karena mengakhirkan
  keluar dari masjid (berdiam lama di masjid, pent.) berakibat suasana sekitar
  sudah terang. Maka sepantasnya wanita bersegera keluar. Berbeda dengan Isya,
  karena suasana akan semakin gelap hingga tidak bermudlarat untuk berdiam
  lebih lama di masjid (tentunya dengan catatan aman dari fitnah dan tidak ada
  gangguan yang membahayakan si wanita di jalanan seperti zaman sekarang ini, wallahu
  a'lam, pent.)." ] 
Aku (Mustafa Al Adawi) katakan :
  "Ucapan Al Hafidh ini diikuti oleh hadits berikutnya (hadits Ummu
  Salamah yang akan disebutkan setelah ini, pent.). Maka tidak ada maknanya untuk
  mengkhususkan waktu shubuh daripada waktu lainnya dalam hal bersegeranya
  wanita keluar dari masjid. Yang benar, para wanita bergegas meninggalkan
  masjid setelah menunaikan semua shalat hingga memungkinkan mereka
  untuk pergi sebelum bercampur-baur dengan laki‑laki." (Jami'
  Ahkamin Nisa' 1/285) 
Hindun bintu Al Harits berkata
  bahwa Ummu Salamah ‑-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam--
  menceritakan padanya tentang para wanita di masa Rasulullah shallallahu
  'alaihi wa sallam : "Apabila mereka telah mengucapkan salam dari
  shalat fardlu, mereka berdiri meninggalkan masjid sedangkan Rasulullah shallallahu
  'alaihi wa sallam beserta para pria yang ikut shalat tetap tinggal selama
  waktu yang dikehendaki Allah. Maka apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi
  wa sallam berdiri, para pria pun ikut berdiri." (HR. Bukhari 866) 
Dalam riwayat lain dari Ummu
  Salamah juga, ia berkata : "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bila
  telah selesai salam (dari shalat) beliau tinggal sejenak di tempatnya
  (sebelum berdiri meninggalkan masjid, pent.)." (HR. Bukhari 849) 
Berkata seorang perawi hadits di
  atas : "Kami berpendapat, wallahu a'lam, beliau berbuat demikian
  agar ada kesempatan bagi para wanita untuk meninggalkan masjid." 
Imam Syaukani rahimahullah
  dalam Nailul Authar 2/315 berkata : "Hadits ini
  menunjukkan disunnahkannya imam untuk memperhatikan keadaan makmum dan
  bersikap hati‑hati dengan menjauhi apa yang dapat mengantarkan kepada perkara
  yang dilarang ... ." 
Ibnu Qudamah rahimahullah
  berkata : "Jika pria dan wanita hadir bersama imam (dalam shalat
  berjamaah) maka disunnahkan bagi sang imam dan jamaah pria agar tetap tinggal
  di tempat (selesai menunaikan shalat) sekadar imam berpendapat bahwa jamaah
  wanita telah meninggalkan masjid ... ." (Al Mughni 2/560) 
Syaikh Musthafa Al Adawi
  berpendapat : "Bila di masjid itu ada pintu khusus bagi wanita dan
  mereka terhijab dari kaum pria dan kaum pria tidak melihat mereka maka tidak
  ada larangan --wallahu a'lam-‑ bagi mereka untuk tetap tinggal di
  tempat shalat agar mereka dapat bertasbih, bertahmid, bertakbir, dan
  bertahlil dengan dzikir‑dzikir tertentu setelah shalat karena para Malaikat
  bershalawat untuk orang yang shalat selama ia tetap di tempat shalatnya dalam
  keadaan berdzikir pada Allah dan selama ia belum berhadats sebagaimana hal ini
  diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam." (Jami'
  Ahkamin Nisa' 1/286‑287) 
Sebaik‑Baik Shaf Wanita 
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya
  dari Abi Hurairah radliyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah shallallahu
  'alaihi wa sallam bersabda : 
"Sebaik‑baik shaf pria
  adalah shaf yang pertama dan sejelek‑jelek shaf pria adalah yang paling
  akhir. Sebaik‑baik shaf wanita adalah yang paling akhir dan sejelek‑jeleknya
  yang paling depan." (HR. Muslim nomor 440, Nasa'i 2/93, Abu Daud 678,
  Tirmidzi 224 dan ia berkata : "Hadits hasan shahih." Ibnu Majah
  juga meriwayatkan hadits ini nomor 1000) 
Ada beberapa pendapat ulama
  dalam permasalahan ini, di antaranya : 
Berkata Imam Nawawi rahimahullah
  dalam Syarhu Muslim (halaman 1194) : 
"Adapun
  shaf pria maka secara umum selamanya yang terbaik adalah shaf yang pertama
  dan yang paling jelek adalah shaf yang terakhir. Adapun shaf wanita maka yang
  dimaksudkan dalam hadits adalah shaf‑shaf wanita yang shalat bersama kaum
  pria. Sedangkan bila mereka (kaum wanita) shalat terpisah dan tidak bersama
  kaum pria maka mereka sama dengan pria, yakni sebaik‑baik shaf mereka adalah
  yang paling depan dan seburuk‑buruknya adalah yang paling akhir. Yang
  dimaksud dengan jelek-nya shaf bagi pria dan wanita adalah yang paling
  sedikit pahalanya dan keutamaannya serta paling jauh dari tuntutan syar'i.
  Sedangkan shaf yang paling baik adalah sebaliknya. Shaf yang paling akhir
  bagi jamaah wanita yang hadir bersama jamaah pria dikatakan memiliki
  keutamaan karena jauhnya para wanita itu dari bercampur (ikhtilath)
  dengan pria, dari melihat pria, dan tergantungnya hati tatkala melihat
  gerakan kaum pria, serta mendengar ucapan (pembicaraan mereka), dan
  semisalnya. Dan celaan bagi shaf yang terdepan bagi jamaah wanita (yang hadir
  bersama pria) adalah sebaliknya dari alasan di atas, wallahu a'lam." 
Beliau rahimahullah
  berkata juga dalam Al Majmu' 4/301 : "Telah kami sebutkan
  tentang disunnahkannya memilih shaf pertama kemudian sesudahnya (shaf kedua)
  kemudian sesudahnya sampai shaf yang akhir. Hukum ini berlaku terus-menerus
  bagi shaf pria dalam segala keadaan dan juga bagi shaf wanita yang jamaahnya
  khusus wanita, terpisah dari jamaah pria. Adapun jika kaum wanita shalat
  bersama pria dalam satu jamaah dan tidak ada pemisah/penghalang di antara
  keduanya, maka shaf wanita yang paling utama adalah yang paling akhir
  berdasarkan hadits Abi Hurairah radliyallahu 'anhu (telah disebutkan
  di atas, pent.)." 
Berkata Imam
  Syaukani rahimahullah : [ Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa
  sallam : 
" ...
  dan sebaik‑baik shaf wanita adalah yang paling akhir." 
Dikatakan
  paling baik karena berdiri pada shaf tersebut menyebabkan jauhnya dari
  bercampur dengan pria, berbeda dengan berdiri di shaf pertama dari shaf-shaf
  jamaah wanita karena mengandung (kemungkinan) bercampur dengan pria dan
  tergantungnya hati dengan mereka (para pria) disebabkan melihat mereka dan
  mendengar ucapan mereka. Karena inilah, shaf pertama dinyatakan paling jelek
  (bagi wanita). (Nailul Authar 3/184) ] 
Dalam Subulus
  Salam 2/30 (Maktabah Dahlan), Imam Shan'ani rahimahullah
  berkata : "Shaf yang paling akhir dikatakan shaf yang terbaik bagi
  wanita. Alasannya karena dalam keadaan demikian mereka berada jauh dari pria,
  dari melihat, dan mendengar omongan mereka. Hanya saja alasan ini tidak
  sempurna kecuali bila shalat mereka dilakukan bersama kaum pria. Adapun bila
  mereka shalat dan imam mereka juga wanita (jamaah khusus wanita, pent.) maka
  shaf‑shaf mereka hukumnya seperti shaf‑shaf pria yaitu yang paling utama
  adalah shaf pertama." 
Syaikh
  Musthafa Al Adawi berkata setelah menyebutkan hadits Abi Hurairah di atas : 
[ Ketentuan
  ini berlaku bila kaum wanita bergabung bersama kaum pria dalam shalat
  berjamaah di mana mereka berada di belakang shaf‑shaf. Adapun bila jamaahnya
  khusus wanita atau bersama kaum pria dalam melaksanakan shalat akan
  tetapi mereka tidak dapat terlihat oleh pria, maka shaf yang paling baik
  adalah yang paling depan berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi
  wa sallam : 
"Seandainya
  mereka tahu keutamaan shaf yang terdepan niscaya mereka akan berundi untuk
  mendapatkannya." (HR. Bukhari 721) ] (Jami' Ahkamin
  Nisa' 1/353‑354) 
Bolehnya Wanita Shalat Sunnah di Masjid 
Sebagaimana
  wanita dibolehkan untuk shalat berjamaah di masjid, dibolehkan pula baginya
  untuk melakukan shalat sunnah di masjid selama aman dari fitnah dan terpenuhi
  syarat‑syarat yang ditetapkan. Hal ini berdalil dengan riwayat Imam Bukhari
  dalam Shahih-nya dari Anas bin Malik radliyallahu 'anhu.
  Anas berkata : Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam masuk ke dalam
  masjid, tiba‑tiba beliau mendapatkan seutas tali terbentang di antara dua
  tiang (masjid). Maka beliau bersabda : 
"Tali
  apa ini?" Para shahabat menjawab : "Tali ini milik
  Zainab. Bila ia merasa lemah (dari melaksanakan shalat sunnah, pent.) ia
  bergantung dengan tali ini." Nabi shallallahu 'alaihi wa
  sallam bersabda : "Jangan, putuskan tali ini! Hendaklah salah
  seorang dari kalian shalat dalam keadaan ia bersemangat maka kalau ia lemah
  hendaklah ia duduk." (HR. Bukhari hadits 1150, dikeluarkan juga
  oleh Muslim, Abu Daud 1312, Nasa'i, dan Ibnu Majah 1371) 
Berkata Al
  Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 3/37 : "Hadits ini
  menunjukkan upaya menghilangkan kemungkaran dengan tangan dan lisan dan
  menunjukkan bolehnya para wanita menunaikan shalat nafilah (sunnah) di
  masjid." 
Penutup 
Sebelum
  seorang wanita melangkah ke masjid, ia harus melihat syarat‑syarat
  yang telah ditetapkan dalam agama ini agar ia tidak jatuh dalam pelanggaran
  dan perbuatan dosa. Dan ia hendaknya tidak melupakan sabda Nabi shallallahu
  'alaihi wa sallam kepada Ummu Humaid ketika Ummu Humaid berkata : "Ya
  Rasulullah, sesungguhnya aku senang shalat bersamamu." Nabi menjawab
  : 
"Sungguh
  aku tahu bahwa engkau suka shalat bersamaku, namun shalatmu di rumahmu lebih
  baik daripada shalatmu di masjid kaummu dan shalatmu di masjid kaummu lebih‑baik
  daripada shalatmu di masjidku ini." (HR. Ibnu
  Khuzaimah 1689, Ahmad 6/371, Ibnu Abdil Barr dalam Al Isti'ab. Kata
  Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini : "Isnadnya hasan dengan syawahid."
  Lihat Al Insyirah halaman 74) 
Syaikh Abu
  Ishaq Al Huwaini menyatakan : "Bersamaan dengan dibolehkannya wanita
  keluar ke masjid maka sesungguhnya shalatnya di rumahnya lebih utama daripada
  hadirnya ia dalam shalat berjamaah (di masjid)." (Al
  Insyirah halaman 73) 
Wallahu A'lam Bish Shawwab. 
 | 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar