DASAR-DASAR STRATEGI PEMBELAJARAN
BY. MOH. YANI, S.Ag,MM,M.Pd.I
BY. MOH. YANI, S.Ag,MM,M.Pd.I
1. Konsep Dasar Strategi Belajar Mengajar
Yang dimaksud dengan
strategi secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu garis besar haluan
bertindak untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Menurut Newman dan Logan, dalam bukunya yang
berjudul Strategy Policy and Central Management(1971 : 8), strategi
dasar dari setiap usaha akan mencakup keempat hal sbb :
a. Mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi dan kualifikasi hasil
seperti apa yang harus dicapai dan menjadi sasaran usaha itu yang sesuai dengan
aspirasi dan selera masyarakat.
b. Mempertimbangkan dan memilih jalan pendekatan utama manakah yang
dipandang paling efektif guna mencapai sasaran tersebut.
c. Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah apa saja yang akan
ditempuh untuk mencapai sasaran tersebut.
d. Mempertimbangkan dan menetapkan kriteria dan patokan ukuran yang
harus dipergunakan untuk mengukur dan menilai taraf keberhasilan usaha
tersebut.
2. Menetapkan Sasaran Kegiatan Belajar-Mengajar dalam Rangka
Mengidentifikasi Entering Behavior Siswa
a. Sasaran-Sasaran Kegiatan Belajar-Mengajar
Setiap kegiatan belajar
mengajar pasti mempunyai tujuan tertentu. Tujuan tersebut bertahap dan
berjenjang mulai dari sangat operasional dan konkret sampai yang bersifat
universal. Tujuan itu pada akhirnya harus diterjemahkan dalam ciri-ciri /
sifat-sifat wujud perilaku dan pribadi dari manusia yang dicita-citakan. Sistem
pendidikan harus melahirkan para warga Negara yang memiliki empat kemampuan,
kecakapan dan sifat utama, yaitu :
v Self
realization, maksudnya manusia harus mampu mewujudkan dan mengembangkan
bakat-bakatnya seoptimal mungkin.
v Human
relationship ( hubungan antarinsan )
v Economic
efficiency (efisiensi ekonomi
v Civil
responsibility, manusia harus memiliki tanggung jawab sebagai warga Negara.
b. Entering Behavior Siswa
Meskipun terdapat
keragaman dari berbagai paham dan teori tentang makna perbuatan belajar, namun
teori manapun pada akhirnya cenderung untuk sampai pada konsensus bahwa hasil
perbuatan belajar itu dimanifestasikan dalam perubahan perilaku dan pribadi
baik secara material-substansial, struktural-fungsional, maupun secara
behavioral. Tingkat dan jenis karakteristik perilaku siswa yang telah
dimilikinya pada saat akan memasuki kegiatan belajar mengajar inilah yang
dimaksudkan dengan Entering Behavior. Entering Behavior ini akan
dapat kita identifikasikan dengan berbagai cara, antara lain :
1. Secara tradisional, lazimnya para guru memulai dengan memberikan
pertanyaan-pertanyaan mengenai bahan-bahan yang pernah diberikan sebelum
menyajikan bahan baru.
2. secara inovatif, guru-guru sudah mulai mengembangkan instrumen pengukuran
prestasi belajar dengan cara melakukan pre-test sebelum memulai kegiatan
belajar mengajar.
Dengan mengetahui gambaran
tentang entering behavior, siswa akan memberikan banyak sekali bantuan kepada
guru, antara lain :
1) Untuk mengetahui seberapa jauh kesamaan
individual antarsiswa dalam taraf kesiapannya, kematangannya, serta tingkat
penguasaan dari pengetahuan dan keterampilan dasar sebagai landasan bahan baru.
2) Dengan mengetahui disposisi perilaku siswa
tersebut, guru akan dapat mempertimbangkan dan memilih bahan, metode, teknik,
dan alat bantu belajar mengajar yang sesuai.
3) Dengan membandingkan nilai hasil pre-test
dengan nilai hasil akhir, guru akan memperoleh indikator yang menunjukkan
seberapa banyak perubahan perilaku yang terjadi pada siswa.
Mengingat hakikat
perubahan perilaku itu dapat berupa penambahan, peningkatan hal-hal baru
terhadap hal lama yang telah dikuasai, atau bahkan berupa pengurangan terhadap
perilaku lama yang tidak diinginkan (merokok, mencontek, dsb) , maka
sekurang-kurangnya ada tiga dimensi dari entering behavior itu yang perlu
diketahui guru adalah :
a. Batas-batas cangkupan ruang lingkup materi pengetahuan yang telah dimiliki
dan dikuasai siswa.
b. Tingkatan dan urutan tahapan materi pengetahuan, terutama kawasan pola-pola
sambutan atau kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor yang telah dicapai
dan dikuasai siswa.
c. Kesiapan dan kematangan fungsi-fungsi psikomorik, proses-proses kognitif,
pengalaman, mengingat, berpikir, afektif, emosional, motivasi, dan kebiasaan.
Sebelum merencanakan dan
melaksanakan kegiatan mengajar, guru harus dapat menjawab pertanyaan :
a) Sejauh mana batas-batas materi pengetahuan yang telah dikuasai dan
diketahui oleh siswa yang akan diajar.
b) Tingkat dan tahap serta jenis kemamupuan manakah yang telah
dicapai dan dikuasai siswa yang bersangkutan.
c) Apakah siswa sudah cukup siap dan matang untuk menerima bahan dan pola-pola
perilaku yang akan diajarkan.
d) Seberapa jauh motivasi dan minat belajar yang dimiliki oleh siswa
sebelum belajar dimulai.
3. Pola-pola Belajar Siswa
a. Mengidentifikasi pola-pola belajar siswa
Gagne (Lefrancois
1975:114-120) mengkategorikan pola-pola belajar siswa ke dalam 8 tipe dimana
yang satu merupakan prasyarat bagi yang lainnya/yang lebih tinggi hierarkinya.
Kedelapan tipe belajar itu ialah:
· Tipe I:Signal
Learning (belajar signal atau tanda, isyarat)
Tipe belajar ini menduduki
tahapan hierarki (yang paling dasar). Signal learning dapat
didefinisikan sebagai proses penguasaan pola dasar perilaku yang bersifat
involunter (tidak disengaja dan didasari tujuannya). Kondisi yang diperlukan
bagi berlangsungnya tipe belajar ini ialah diberikan stimulus secara serempak
perangsang-perangsang tertentu dengan berulang-ulang.
· Tipe II:Stimulus-Respons
Learning (belajar stimulus-respons, sambut rangsang)
Tipe belajar II ini
termasuk ke dalam operant or instrumental condition (Kible,1961) atau
belajar dengan trial and error (Thorndike). Kondisi yang diperlukan untuk dapat
berlangsungnya tipe belajar ini ialah faktor reinforcement.
· Tipe III:Chaining
(mempertautkan) dan tipe IV:Verbal Association (asosiasi verbal)
Kedua tipe belajar ini
setaraf, ialah belajar menghubungkan satuan ikatan S-R yang satu dengan yang
lainnya. Tipe III berkenaan dengan aspek-aspek perilau psikomotorik dan tipe IV
berkenaan dengan aspek-aspek belajar verbal. Kondisi yang diperlukan bagi
berlangsungnya proses belajar ini antara lain secara internal terdapat pada
diri siswa harus sudah terkuasai sejumlah satuan-satuan pola S-R, baik
psikomotorik maupun verbal. Di samping itu, prinsip contiguity, repetition,
dan reinforcement masih tetap memegang peranan penting bagi
berlangsungnya proses chaining dan association tersebut.
· Tipe
V:Discrimination Learning (belajar mengadakan perbedaan)
Dalam tahap belajar ini,
siswa mengadakan diskriminasi (seleksi dan pengujian) di antara dua perangsang
atau sejumlah stimulus yang diterimanya kemudian memilih pola-pola sambutan
yang dipandangnya paling sesuai. Kondisi yang utama untuk dapat berlangsungnya
proses belajar ini ialah siswa telah mempunyai kemahiran melakukan chaining
dan association serta memiliki kekayaan pengalaman (pola-pola satuan
S-R)
· Tipe VI:Concept
Learning (belajar konsep, pengertian)
Berdasarkan pesamaan
cirri-ciri adari sekumpulan stimulus dan juga objek-objeknya ia membentuk suatu
pengertian atau konsep-konsep. Kondisi utama yang diperlukan bagi proses
berlangsungnya belajar tipe ini ialah terkuasainya kemahiran diskriminasi dan
proses kognitif fundamental sebelumnya.
· Tipe VII:Rule
Learning (belajar membuat generalisasi, hukum-hukum)
Pada tingkat ini siswa
belajar mengadakan kombinasi dari berbagai konsep (pengertian) dengan
mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal sehingga siswa dapat membuat
konklusi tertentu.
· Tipe VIII:Problem
Solving (belajar memecahkan masalah)
Pada tingkat ini siswa
belajar merumuskan dan memecahkan masalah (memberikan respons terhadap
rangsangan yang menggambarkan atau membangkitkan situasi problematik) dengan
menggunakan berbagai rule yang telah dikuasainya. Menurut John Dewey
(Loree,1970:438-439) dalam bukunya How We Think, proses belajar
pemecahan masalah itu berlangsung sebagai berikut:
ΓΌ Become aware of
the problem (menyadari adanya masalah)
ΓΌ Clarifying and
defining the problem (menegaskan dan merumuskan masalahnya)
ΓΌ Searching for
facts and formulating hypotheses (mencari fakta pendukung dan merumuskan
hipotesis)
ΓΌ Evaluating
proposed solution (mengevaluasi alternatif pemecahan yang dikembangkan)
ΓΌ Experimental
verification (mengadakan pengujian atau verifikasi secara eksperimental, uji
coba)
b. Memilih system belajar mengajar (pengajaran)
Dewasa ini, para ahli
teori belajar telah mencoba mengambarkan cara pendekatan atau system pengajaran
atau proses belajar-mengajar. Diantara berbagai system pengajaran yang banyak
menarik perhatian orang akhir-akhir ini ialah:
· Enquiry-Discovery
Learning (belajar mencari dan menemukan sendiri)
Dalam system
belajar-mengajar ini, guru menyajikan bahan pelajaran yang tidak dalam
bentuknya yang final. Siswalah yang diberikan kesempatan untuk mencari dan
menemukannnya sendiri dengan menggunakan teknik pendekatan pemecahan masalah.
Secara garis besar prosedurnya yaitu stimulasi-perumusan masalah-pengumpulan
data-analisis data-verifikasi-generalisasi.
System belajar-mengajar
ini dikembangkan oleh Bruner (Lefrancois,1975:121-126). Pendekatan belajar ini
sangat cocok untuk materi pelajaran yang bersifat kognitif. Kelemahannya,
antara lain memakan waktu yang banyak dan kalau kurang terpimpin dan terarah,
dapat menjurus kepada kekaburan atau materi yang dipelajarinya.
· Expository
Learning
Dalam sistem ini, guru
menyajikan bahan dalam bentuk yang telah dipersiapkan secara rapi, sistematik,
dan lengkap sehingg asiswa tingal menyimak dan mencernanya secara teratur dan
tertib. Secara garis besar prosedurnya ialah
periapan-petautan-penyajian-evaluasi. Ausubel berpendapat bahwa pada
tingkat-tingkat belajar yang lebih tinggi, siswa tidak selau harus mengalami
sendiri. Siswa akan mampu dan lebih efisien memperoleh informasi
sebanyak-banyaknya dalam tempo sesingkat-singkatnya. Yang penting siswa
dikembangkan penguasaannya atas kerangka konsep-konsep dasar atau pla-pola pengertian
dasar tentang sesuatu hal sehingga dapat mengorganisasikan data, informasi, dan
pengalaman yang bertalian dengan hal tersebut.
· Mastery
learning (belajar tuntas)
Proses belajar yang
berorientasi pada prinsip mastery learning ini harus dimulai dengan
penguasaan bagian terkecil untuk kemudian baru dapat melanjutkan ke dalam
satuan (modul) atau unit berikutnya. Atas dasar itu maka dewasa ini telah
dikembangkan system pengajaran berprogram dan juga system pengajaran modul,
bahkan Computer Assisted Instruction (CAI). Dengan tercapainya tingkat
penguasaan hasil pelajaran yang tinggi, maka akan menunjukkan sikap mental yang
sehat pada siswa yang bersangkutan.
· Humanistic
Education
Teori belajar ini
menitikberatkan pada upaya membantu siswa agar ia sanggup mencapai perwujudan
diri (self realization) sesuai dengan kemampuan dasar dan keunikan yang
dimilikinya. Karakteristik utama metode ini, antara lain bahwa guru hendaknya
tidak membuat jarak yang tidak terlalu tajam dengan siswa. Sasaran akhir dari
proses belajar mengajar menurut paham ini ialah self actualization yang
seoptimal mungkin dari setiap siswa.
c. Pengorganisasian satuan kelompok belajar siswa
Gage dan Barliner (1975:447-450), juga Norman MacKenzie dan
rekan-rekannya (UNESCO,1972:126) menyarankan pengorganisasian kelompok belajar
siswa ke dalam susunan sebagai berikut:
· N=1. Pada situasi
ekstrem, kelompok belajar mungkin hanya terdiri atas seorang siswa atau seorang
siswa bekerja individual saja.metode belajarnya bisa disebut dengan tutorial,
pengajaran berprogram, studi individual, atau independent study,
· N=2-20. Kelompok
belajar kecil, mungkin terdiri atas 2 sampai 20 siswa. Mtode belajar seperti
ini biasanya disebut dengan metode diskusi atau seminar.
· N=2-40. Kelompok besar
mungkin berkisar antar 20-40 siswa. Metode ini disebut metode belajar mengajar
kelas. Metodenya mungkin bervariasi, sesuai dengan kesenangan dan kemampuan
guru unuk mengelolanya.
· N=40 lebih
besar atau ukuran kelompok melebihi 40 orang. Metode belajar-mengajar
lazim disebut (ceramah) atau the lecture.
4. Beberapa metode dan Teknik Mengajar
Sejak ratusan tahun yang
lalu, orang telah mengembangkan berbagai metode dan teknik mengajar untuk dapat
membantu siswa dalam proses menerima materi pelajaran.
Menurut Joice dan Weil
(Gage and Barliner, 1975:444-447) telah mengelompokkan model-model belajar ke
dalam empat orientasi, yaitu :
(1) information processing orientation
(2) social-interaction orientation
(3) person orientation
(4) behavior-modification orientation
Beberapa metode mengajar yang banyak digunakan oleh para guru
antara lain:
(1) Metode Ceramah
Ceramah atau kuliah merupakan metode belajar tradisional dimana
bahan disajikan oleh guru secara monologue sehingga pembicaraan lebih bersifat
satu arah. Peran guru lebih banyak dalam hal keaktifannya untuk memberikan
materi pelajaran, sementara siswa mendengarkan dengan teliti serta mencatat
yang pokok-pokok dari pernyataan yang dikemukakan oleh guru.
(2) Metode Diskusi
Metode diskusi merupakan
cara lain dalam belajar-mengajar dimana guru dan siswa, bahkan antarsiswa
terlibat dalam suatu proses interaksi secara aktif dan timbal balik dari dua
arah.
5. Menetapkan Strategi Evaluasi Belajar Mengajar
Tujuan akhir dari tindakan
evaluasi, serta bagaimana mengembangkan dan memilih instrumennya yang memenuhi
syarat telah kita bahas dalam unit-unit terdahulu. Yang menjadi persoalan
sekarang, kapan pengukuran dan evaluasi itu dilakukan, serta bagaimana
menafsirkan hasilnya bagi pengambilan keputusan dan tindak lanjutnya.
a. Beberapa Model Desain Pelaksanaan Evaluasi Belajar
Berdasarkan maksud atau
fungsinya, terdapat beberapa model desain pelaksanaan evaluasi
belajar-mengajar. Di antaranya ialah evaluasi; sumatif, formatif, refleksi, dan
kombinasi dari ketiganya.
Evaluasi sumatif ialah model
pelaksanaan evaluasi yang dilakukan setelah berakhirnya kegiatan belajar-mengajar,
atau sering juga kita kenal dengan istilah lain, yaitu post test. Pola evaluasi
ini dilakukan kalau kita hanya bermaksud mengetahui tahap perkembangan terakhir
dari tingkat pengetahuan atau penguasaan belajar (mastery learning) yang telah
dicapai oleh siswa. Asumsi yang mendasarinya ialah bahwa hasl belajar itu
merupakan totalitas sejak awal sampai akhir, sehingga hasil akhir itu dapat
kita asumsikan dengan hasil. Hasil penilaian ini merupakan indikator mengenai
taraf keberhasilan proses belajar-mengajar tersebut. Atas dasar itu, kita dapat
menentukan apakah dapat dilanjutkan kepada program baru atau harus diadakan
pelajaran ulangan seperlunya.
Evaluasi formatif ialah model
pelaksanaan evaluasi yang dilakukan selama masih berjalannya proses kegiatan
belajar-mengajar. Mungkin kita baru menyelesaikan bagian-bagian atau unit-unit
tertentu dari keseluruhan program atau bahan yang harus diselesaikan. Tujuannya
ialah apabila kita menghendaki umpan-balik yang secara (immediate feedback),
kelemahan-kelemahan dari proses belajar itu dapat segera diperbaiki sebelum
terlanjur dengan kegiatan lebih lanjut yang mungkin akan lebih merugikan, baik
bagi siswa maupun bagi guru sendiri. Bila dibiarkan kesalahan akan
berlarut-larut. Dengan kata lain, evaluasi formatif ini lebih bersifat
diagnostik untuk keperluan penyembuhan kesulitan-kesulitan atau kelemahan
belajar-mengajar (remedial teaching and learning), sedangkan reevaluasi sumatif
(EBTA) biasanya lebih berfungsi informatif bagi keperluan pengambilan keputusan,
seperti penentuan nilai (grading), dan kelulusan.
Evaluasi reflektif ialah model
pelaksanaan evaluasi yang dilakukan sebelum proses belajar-menagjar dilakukan
atau sering kita kenal dengan sebutan pre-test. Sasaran utama dari evaluasi
reflektif ini ialah untuk mendapatkan indikator atau informasi awal tentang
kesiapan (readliness) siswa dan disposisi (keadaan taraf penguasaan) bahan atau
pola-pola perilaku siswa sebagai dasar penyusunan rencana kegiatan
belajar-menagjar dan peramalan tingkat keberhasilan yang mungkin dapat
dicapainya setelah menjalani proses belajar-menagjar nantinya. Jadi, evaluasi
reflektif lebih bersifat prediktif.
Pengguanaan teknik
pelaksanaan evaluasi itu secara kombinasi dapat dan sering juga dilakukan
terutama antara reflektif dan sumatif atau model pre-post test design. Tujuan
penggunaan model dilaksanakan evaluasi ini ialah apabila kita ingin mengetahui
taraf keefektivan proses belajar-mengajar yang bersangkutan. Dengan cara
demikian, kita akan mungkin mendeteksi seberapa jauh konstribusi dari
komponen-komponen yang terlibat dalam proses belajar-mengajar tersebut. Sudah
barang tentu model ini pun lebih bersifat diagnostik, tetapi lebih
komprehensif.
b. Beberapa Cara untuk Menginterprestasikan Hasil Penilaian
Untuk dapat menafsirkan
hasil penilaian dari evaluasi yang dilaksanakan, kita perlu patokan atau ukuran
baku atau
norma. Dalam evaluasi, kita mengenal dua norma yang lazim dipergunakan untuk
menumbang taraf keberhasilan belajar-menagjar, yaitu apa yang disebut (1)
criterion referenced dan (2) norm referenced, seperti telah disinggung di atas.
Criterion referenced
evaluation ( PAP = Penilaian Acuan Patokan ) merupakan cara mempertimbangkan
taraf keberhasilan siswa dengan memperbandingkan prestasi yang dicapainya dengan
kriteria yang telah ditetapkan lebih dahulu (preestabilished criterion).
Norm referenced evaluation ( PAN =
Penilaian Acua Norma) merupakan cara memertimbangkan taraf keberhasilan belajar
siswa, dengan jalan memperbandingkan prestasi individual siswa dengan rata-rata
prestasi temannya, lazimnya kelompoknya.
Atas dasar kedua norma
itulah seseorang dinyatakan lulus atau tidak lulus, atau berhasil atau tidak
berhasil (pass-fail). Norma kelulusan itu biasanya disebut batas lulus (passing
grade).
Dalam criterion
referenced evaluation ( PAP ) angka batas lulus itu lazimnya dipergunakan
angka nilai 6 dalam skala 10 atau 60 dalam skala 100, atau 2+ slaam skala -4,
atau C dalam skala A-E. adapaun filosofi yang melandasi sistem penilaian ini
ialah teory mastery learning, dimana seseorang dapat dianggap memenuhi syarat
kecakapannya (qualified) kalau menguasai minimal 60% dari hasil yang
diharapkan. Dalam konteks sistem pendidikan di Indonesia persayaratan ini
dikenakan terutama terhadap mata pelajaran dasar yang penting yaitu PMP, agama,
bahasa Indonesia dan sebaginya, yang berarti bahwa sistem pendidikan di
Indonesia sangat mengutamakan pembinaan warga negara yang baik, beragama dan
berdasarkan kebudayaan bangsanya.
Dalam norm referenced
evaluation ( PAN ), norma itu dapat dipergunakan dengan berbagai cara,
misalnya (1) ukuran rata-rata prestasi kelompoknya, (2) ukuran penyebaran nilai
prestasi kelasnya, dan (3) ukuran penyimpangan dari ukuran rata-rata prestasi
kelompoknya (mean,range, and standard deviation).
1) Beberapa model ukuran rata-rata prestasi kelompok
a) Mean (ukuran rata-rata hitung), dapat dicari dengan jalan membagi
jumlah nilai dari seluruh anggota kelompok (∑ fxi) dengan jumlah
anggota kelompok yang bersangkutan (N). yang dinyatakan dengan formula ialah
sebagai berikut :
Mean ( X ) = (∑ fxi)
N
Kalau dalam kurikulumnya
diadakan sistem pembobotan (weighing) seperti dengan menggunakan sistem kredit
(SKS), sebelum dijumlahkan, setiap nilai henndaknya dikaitkan dahulu dengan
bobotnya (W).
Selanjutnya, maka formulanya menjadi :
X = ( ∑ fxi W )
N
b) Median ialah suatu
titik yang membagi dua ( 50% di atas dan 50% di bawah) dari keseluruhan jumlah
anggota kelompok. Angka titik tengah ini dapat diperoleh dengan jalan
menambahkan angka 1 pada jumlah seluruh peserta (N), kemudian dibagi 2. Yang
mana dinyatakan :
Median (Mdn) = N + 1
2
Mdn = Nilai tertinggi + Nlai terendah
2
c) Mode ialah hasil
suatu klarifikasi nilai yang sama yang paling banyak anggota yang memperoleh
nilai tersebut atau frekuensinya (f).
Dengan diketahuinya ukuran rata-rata ini, kita dapat membandingkan
apakah nilai yang dicapai oleh seseorang itu mendekati atau sangat jauh di
bawah atau di atas nilai rata-rata tersebut.
2) Beberapa model ukuran penyebaran (distribusi angka nilai prestais
kelompok)
a) Range ialah jarak
rentangan antara score tertinggi (maksimum) dan nilai score terendah (minimum).
Range diperoleh dengan
formula :
Rentangan = nilai
tertinggi – nilai terendah
Range = maximum score –
minimum score
b) Centile ialah suatu
titik yang menunjukkan berapa persen dari keseluruhan jumlah anggota kelompok
tersebut. Misalna, yang berada di bawah quartil pertama (Q1) menunjukkan bahwa
25% dari keseluruhan anggota kelompok di bawah angka atau titik tersebut.
Biasanya sebagai patokan-patokan penyebaran digunakan Q1, Q2, Q3. Berapa
banyaknya anggota kelompok yang termasuk ke dalam quartil yang bersangkutan,
dapat dicari dengan formula :
Q1 = ( N + 1 )
4
Q2 = ( Q3 – Q1 )
2
Q3 = 3 ( N + 1 )
4
3) Beberapa model penyimpangan dari ukuran rata-rata hitung
a) Average Deviation ( AD ),
deviasi rata-rata, diperoleh dengan formula :
AD = ∑ f1 X1 - X
N
b) Standard Deviation ( SD ), dapat
diperoleh dengan mengoperasikan formula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar