MENJADI GURU YANG BAIK ATAU TIDAK SAMA SEKALI
Disalin Oleh :
MOH. YANI, S.Ag, MM,M.Pd.I
Tantangan Guru di Era Global dan Otonomi Daerah
Memasuki
abad ke 21 kita menghadapi perubahan-perubahan besar dan amat fundamental
dilingkungan global. Perubahan lingkungan strategis pada tataran global
tersebut tercermin pada pembentukan forum-forum seperti GATT, WTO, dan APEC,
NAFTA dan AFTA, IMG-GT, IMS-GT, BIMP-EAGA, dan SOSEKMALINDO yang merupakan
usaha untuk menyongsong perdagangan bebas dimana pasti akan berlangsung tingkat
persaingan yang amat ketat. Suatu perubahan regulasi yang semula monopoli
(monopoly) menjadi persaingan bebas (free competition). Demikian
pula, terjadi pada pasar yang pada awalnya berorientasi pada produk (product
oriented) beralih pada orientasi pasar (market driven), serta dari
proteksi (protection) berpindah menjadi pasar bebas (free market ).
Kemajuan
ekonomi diberbagai negara, sangat terkait dengan kualitas Sumber Daya Manusia.
Contohnya Singapura dan Jepang. Walaupun sumber daya alam yang dimilikinya
terbatas, tetapi karena kualitas sumber daya manusianya unggul, kedua negara
tersebut menjadi pemimpin ekonomi di kawasan Asia. Untuk itu perlu
mengantisipasi keadaan ini dengan memperkuat kemampuan bersaing diberbagai
bidang dengan pengembangan Sumber Daya Manusia. Sayangnya SDM kita saat ini
memprihatinkan, menurut UNDP. Indonesia menempati peringkat 109 dari 174,
peringkat daya saing ke –46 yang paling bawah di kawasan Asia Tenggara,
Singapura ke-2, Malaysia ke-27. Phillipina ke –32, dan Tailand ke –34, dan
termasuk negara yang paling korup didunia.
Dalam
upaya peningkatan SDM, peranan pendidikan cukup menonjol. Dari pengalaman
beberapa negara menunjukkan bahwa dalam menuju perubahan struktural, dengan
meningkatnya pembangunan ekonomi telah terjadi proporsi tenaga kerja di bawah
pendidikan dasar yang semakin mengecil, sedangkan proporsi tengan kerja
berpendidikan menengah dan tinggi semakin meningkat. Berbeda dengan negara lain
yang mengalami tinggal landas, proporsi yang berpendidikan dasar dan menengah
di Korea pada pertengahan tahun 70-an cukup besar yaitu 19 persen tidak
berpendidikan, 43 persen berpendidikan dasar, 31 persen berpendidikan menengah
dan 7 persen berpendidikan tinggi (Macharany, 1990). Selanjutnya, Yudo Swasono
dan Boediono (Macharany, 1990) mengungkapkan bahwa struktur tenaga kerja
Indonesia pada tahun 1985 adalah 53 persen tidak berpendidikan, 34 persen
berpendidikan dasar, 11 persen berpendidiian menengah dan 2 persen
berpendidikan tinggi. Bila kita ingin mencapai tinggal landas seperti Korea,
diperkirakan struktur tenaga kerja menurut pendidikan dalam tiga skenario
pertumbuhan GDP per kapita, yaitu rendah 6 persen, sedang 7 persen, dan tinggi
8 persen pada tahun 2019.
Di
era otonomi daerah kebijakan strategis yang diambil Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah dalam meningkatkan mutu pendidikan untuk
mengembangkan SDM adalah : (1) Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (school
based management) dimana sekolah diberikan kewenangan untuk
merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu secara keseluruhan; (2) Pendidikan
yang berbasiskan pada partisipasi komunitas (community based education)
di mana terjadi interaksi yang positif antara sekolah dengan masyarakat,
sekolah sebagai community learning center; dan (3) Dengan menggunakan
paradigma belajar atau learning paradigm yang akan menjadikan
pelajar-pelajar atau learner menjadi manusia yang
diberdayakan. Selain itu pada pemerintah telah mengumumkan suatu gerakan
nasional untuk peningkatan mutu pendidikan, sekaligus menghantar perluasan
pendekatan Broad Base Education System (BBE) yang memberi pembekalan
kepada pelajar untuk siap bekerja membangun keluarga sejahtera. Dengan
pendekatan itu setiap siswa diharapkan akan mendapatkan pembekalan life
skills yang berisi pemahaman yang luas dan mendalam tentang lingkungan dan
kemampuannya agar akrab dan saling memberi manfaat. Lingkungan sekitarnya dapat
memperoleh masukan baru dari insan yang mencintainya, dan lingkungannya dapat
memberikan topangan hidup yang mengantarkan manusia yang mencintainya menikmati
kesejahteraan dunia akhirat (Depdiknas, 2000).
Menjadi Guru Yang Profesional
Apa yang diharapkan dari
seorang guru untuk menghadapi tantangan era global, era otonomi daerah dalam
merealisasikan program pemerintah dalam bidang pendidikan?. jawabannya hanya
sederhana : ” Menjadi guru yang baik, atau tidak sama sekali”. Tidak ada
diantara kita yang dipaksa menjadi guru yang ada hanya terpaksa menjadi guru
dan secara sukarela menjadi guru. Apapun itu yang penting untuk menjadi
guru maka tugas mulia ini mesti dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan
pengabdian. Guru yang baik diharapkan untuk menjadikan dirinya secara
profesional, dan untuk mendapatkan guru yang profesional merupakan suatu
keharusan.
Moh
Uzer Usman (2000) mengemukakan tiga tugas guru sebagai profesi meliputi
mendidik, mengajar dan melatih. (1)
mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup, (2) mengajar
berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, (3) melatih berarti
mengembangkan keterampilan-keterampilan pada siswa. DG Amstrong
mengemukakan ada lima tugas dan tanggung jawab pengajar, yakni tanggung jawab
dalam (1) pengajaran, (2) bimbingan belajar, (3) pengembangan kurikulum, (4)
pengembangan profesinya, dan (5) pembinaan kerjasama dengan masyarakat.
Untuk dapat melaksanakan tugas
dan tanggung jawab diatas, seorang guru dituntut memiliki beberapa kemampuan
dan keterampilan tertentu. Kemampuan dan keterampilan tersebut sebagai bagian
dari kompetensi profesionalisme guru. Kompetensi merupakan suatu kemampuan yang
mutlak dimiliki oleh guru agar tugasnya sebagai pendidik dapat terlaksana
dengan baik.
Glasser dalam Nana
Sudjana (1988) mengemukakan empat jenis kompetensi tenaga pengajar, yakni
(a) mempunyai pengetahuan belajar dan tingkah laku manusia, (b) menguasai
bidang ilmu yang dibinanya, (c) memiliki sikap yang tepat tentang dirinya
sendiri dan teman sejawat serta bidang ilmunya , (d) keterampilan mengajar.
Upaya Meningkatkan Citra Guru
Untuk meningkatkan mutu pendidikan
secara formal aspek guru mempunyai peranan penting dalam mewujudkannya,
disamping aspek lainnya seperti sarana/prasarana, kurikulum, siswa, manajemen,
dan pengadaan buku. Guru merupakan kunci keberhasilan pendidikan, sebab inti
dari kegiatan pendidikan adalah belajar mengajar yang memerlukan peran dari
guru di dalamnya.
Berdasarkan hasil studi di
negara-negara berkembang, guru memberikan sumbangan dalam prestasi belajar
siswa (36%), selanjutnya manajemen (23%), waktu belajar (22%), dan sarana fisik
(19%). Aspek yang berkaitan dengan guru adalah menyangkut citra/mutu guru dan
kesejahteraan (Indra Djati Sidi, 2000)
Citra/mutu guru saat ini sering
didengung-dengungkan dan dibicarakan orang baik yang pro dan kontra dan semakin
lama citra guru semakin terpuruk. Masyarakat sering mengeluh dan menuding guru
tidak mampu mengajar manakala putra-putrinya memperoleh nilai rendah,
rangkingnya merosot, atau NEM-nya anjlok. Akhirnya sebagian orang tua mengikut
sertakan putra/putrinya untuk kursus, privat atau bimbingan belajar. Pihak
dunia kerja ikut memprotes guru karena kualitas lulusan yang diterimanya tidak
sesuai keinginan dunia kerja. Belum lagi mengenai kenakalan dan dekadensi moral
para pelajar yang belakangan semakin marak saja, hal ini sering dipersepsikan
bahwa guru gagal dalam mendidik anak bangsa.
Rendahnya mutu guru
menurut J. Sudarminta (2000) amtara lain tampak dari gejala-gejala berikut : (1) lemahnya penguasaan bahan
yang diajarkan; (2) ketidaksesuaian antara bidang studi yang dipelajari guru dan
yang dalam kenyataan lapangan yang diajarkan; (3) kurang efektifnya cara
pengajaran; (4) kurangnya wibawa guru di hadapan murid; (4) lemahnya motivasi
dan dedikasi untuk menjadi pendidik yang sungguh-sungguh; semakin banyak yang
kebetulan menjadi guru dan tidak betul-betul menjadi guru; (6) kurangnya
kematangan emosional, kemandirian berpikir, dan keteguhan sikap dalam cukup
banyak guru sehingga dari kepribadian mereka sebenarnya tidak siap sebagai
pendidik; kebanyakan guru dalam hubungan dengan murid masih hanya berfungsi
sebagai pengajar dan belum sebagai pendidik; (7) relatif rendahnya tingkat
intelektual para mahasiswa calon guru yang masuk LPTK (Lembaga Pengadaan Tenaga
Kependidikan) dibandingkan dengan yang masuk Universitas.
Sementara itu Nana Sudjana
(2000) menjelaskan rendahnya pengakuan masyarakat terhadap profesi guru
disebabkan oleh faktor berikut : (1) adanya pandangan sebagian masyarakat,
bahwa siapapun dapat menjadi guru asalkan ia berpengetahuan; (2) kekurangan
guru di daerah terpencil, memberikan peluang untuk mengangkat seseorang yang
tidak mempunyai keahlian untuk menjadi guru; (3) banyak guru yang belum
menghargai profesinya, apalagi berusaha mengembangkan profesinya itu. Perasaan
rendah diri karena menjadi guru, penyalahgunaan profesi untuk kepuasan dan
kepentingan pribadinya, sehingga wibawa guru semakin merosot. Sedang Muhibbin
Syah (2000) menyorot rendahnya tingkat kompetensi profesionalisme guru.
Penguasaan guru terhadap materi dan metode pengajaran masih berada di bawah
standar.
Oleh karena itu usaha untuk
meningkatkan mutu/citra guru salah satu komponen yang berperan adalah
meningkatkan profesional guru yang bercirikan : menguasai tugas, peran dan
kompetensinya, mempunyai komitmen yang tinggi terhadap profesinya, dan menganut
paradigma belajar bukan saja di kelas tetapi juga bagi dirinya sendiri
melakukan pendidikan berkelanjutan sepanjang masa.
Di dalam penelitian yang
dilakukan di Amerika Serikat telah dikembangakan konsep Next Century School
(NCS) sebagai berikut : (i) guru sebagai pelatih yang mendorong siswanya
untuk mau meningkatkan prestasinya, guru tidak selalu lebih pintar dari
siswa. Guru bersama-sama siswa berupaya keras untuk meningkatkan
prestasi siswa. Mereka merupakan team work yang padu, (ii) Sebagai konselor, sebagai
sahabat siswa yang menjadi tempat mendiskusikan berbagai masalah kehidupan,
bersama-sama mencari solusi. Guru dapat menjadi teladan atau idola siswa; (iii)
guru menjadi manajer belajar, artinya bersama-sama dengan siswa mencari
pengaturan yang optimal untuk mengelola waktu belajar. Dengan singkat dapat
disampaikan bahwa hubungan antara guru dengan siswa tidak dibatasi oleh ruang
kelas, di pasar, dilapangan, di perpustakaan, di tempat rekreasi dan lain-lain.
Hal inilah yang akan menciptakan suasana yang kondusif yang didasarkan hubungan
harmonis antara guru dengan siswa (Indra Djati Sidi, 2000). Dengan
demikian proses penuingkatan mutu guru ditekankan pada proses berkelanjutan
melalui pemberdayaan diri sendiri.
Sejalan dengan kehidupan yang
serba materialisme dan konsumerisme yang membudaya dikalangan kita maka
berdampak pula terhadap citra guru. Guru yang penghasilannya pas-pasan membuat
masyarakat kurang menghargai profesinya. Guru terpaksa harus mencari
penghasilan tambahan seperti mengojek, menghonor di sekolah lain, memberi
les/privat dan lain-lain yang menyebabkan guru kurang persiapan dalam
mengajar dan mengajar apa adanya. Turunnya semangat guru tidak terlepas dari
kesejahteraan saat ini. Misalnya kasus manipulasi NEM oleh oknum guru di beberapa
daerah, hanyalah untuk mendapatkan imbalan yang tidak seberapa besarnya.
Penutup
Guru yang profesional tidak
hanya tahu akan tugas, peranan dan kompetensinya namun juga dapat melaksanakan
apa-apa yang menjadi tugas dan peranannya, dan selalu meningkatkan
kompetensinya agar tercapai kondisi proses belajar mengajar yang efektif dan
tercapai tujuan belajar secara optimal. Guru yang profesional selalu belajar
dan belajar untuk mengembangkan profesinya.
Sebagai guru yang baik
dengan tingkat kesejahteraan yang masih rendah maka seharusnya tidak usah
berkeluh kesah, dan menurunkan semangat kerja. Sebagai orang-orang yang
berpendidikan seharusnya guru dapat mengatasi persoalan ekonomi baik secara
individual maupun secara kooperatif. Guru membekali dirinya dengan kemampuan
untuk berwirausaha. Kita syah-syah saja mencari penghasilan tambahan,
sebagaimana dokter yang penghasilannya lebih besar dari guru, masih ngobyek
untuk menambahi penghasilannya, asal tidak meninggalkan kewajiban
utamanya sebagai pendidik. Guru tidak boleh mengorbankan pelajar karena sedang
ada bisnis. Kewajiban utama tetap dikedepankan, baru sisa waktu (waktu luang)
untuk kerja sambilan. Sebab jika guru terlalu berorientasi pada upaya
penumpukan materi (kekayaan) dikhawatirkan akan melalaikan fungsi guru sebagai
pendidik.
Kekhawatiran akan fungsi guru
bukan lagi pendidik telah telah terbukti, akhir-akhir ini jumlah tenaga
guru semakin sedikit, sebaliknya jumlah pengajar terus membengkak. Menurut
Menteri Pendidikan Nasional dalam sambutan pelantikan rektor Universitas
Surabaya (Unesa) di Surabaya mengatakan :”Indonesia saat ini minus tenaga guru,
yang banyak adalah tenaga pengajar. Dia bekerja per jam, dan setiap jam minta
bayaran”. Guru, menurut Malik Fadjar, lebih dari sekedar pengajar. Guru
merupakan pusat teladan dan panutan. Guru punya pengaruh terhadap siswanya
(Republika, 2002). Jika demikian apakah ada jaminan jika kesejahteraan guru
ditingkatkan maka mutu guru menjadi baik ?.
Secara sendiri-sendiri guru
diharapkan mempunyai pola hidup sederhana dan menggali bakat dan kemampuan yang
bisa digunakan membuka usaha kecil/ usaha sampingan seperti membuka warung di
rumah, menulis buku, memberikan les/kursus, membuka reparasi elektronik,
membuka wartel/warnet dan lain sebagainya. Secara bersama-sama guru dapat
: (1) mengembangkan koperasi guru dan karyawan. Koperasi saat ini dan sampai
kapanpun masih relevan membantu perekonomian masyarakat kecil termasuk guru;
(2) mengembangkan unit produksi (unit usaha ) sekolah sebagaimana dikembangkan
di SMK. Banyak usaha yang bisa digarap dan diusahakan dengan menggunakan
fasilitas sekolah seoptimal mungkin. Asal dikelola dengan baik dan profesional,
maka keuntungan unit produksi (unit usaha) sekolah akan membantu perekonomian
guru; (3) meningkatkan peran masyarakat dan pemerintah kota/daerah dalam
pembiayaan pendidikan baik melalui Komite Sekolah, alumni, dunia usaha dan
pihak lain yang perduli dengan pendidikan dimana sebagian alokasi dana
diperuntukkan bagi kesejahteraan guru.
DAFTAR PUSTAKA
Conny R.
Semiawan, Strategi Pengembangan Pendidikan
Nasional Menjelang
Abad XXI, Balai
Pustaka, 1988
Falah Yunus, Guru
Kunci Utama Keberhasilan Pendidikan, dalam Harian Manuntung, Sabtu
16/10/1996
Indra Djati
Sidi, Pendidikan dan Peran Guru Dalam Era Globalisasi, dalam majalah
Komunika No. 25/tahun VIII/2000
Moch. Uzer
Usman, Menjadi Guru Profesional, Remaja Rosdakarya,
Bandung , 2000
Muhibbin Syah,
Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru, Remaja Rosdakarya, Bandung
Nana Sudjana, Cara Belajar Siswa Aktif, Sinar Baru Algesindo,
Jakarta, 1988
Republika, Sabtu 4 Mei 2002, Mendiknas Melantik Rektor Unesa
Sardiman AM, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Rajawali Pers,
Jakarta, 1994
Sudarminto J, Citra Guru, dalam Pendidikan
Kegelisahan Sepanjang jaman, Sindunata (editor),
Kanisius, 2001
Syaiful Bakri Djamarah, Prestasi Belajar dan
Kompetensi Guru, Usaha Nasional, Jakarta, 1994
Teguh Budiharso, Komentar Mengenai Proyek Penelitian
Perilaku Guru, Manuntung, 7/5/1997
www.ut.ac.id/jurnal pendidikan/htm.
www.depdiknas.go.id/informasi/htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar